Minggu, 07 Agustus 2016

IBU BUMI- BAPA ANGKASA



Oleh : Mas Tiyo

Masyarakat Jawa dalam memahami hidup dan kehidupannya memiliki beragam pola ungkapan untuk menyampaikan konsep hidupnya yang bersifat lahiriah maupun batiniah. Salah satu ungkapan yang sering didapati di tengah masyarakat Jawa adalah “ Ibu Bumi-Bapa Angkasa”.

Sejak kapan dan siapa yang melahirkan ungkapan ini,-seperti kebanyakan ungakapan hidup yang lainnya dalam tradisi jawa-, tidak pernah diketahui secara pasti asal mulanya. Hanya saja ungkapan ini selalu hidup ditengah masyarakat lahir secara turun temurun melalui tutur ‘gethok tular’ dalam masyarakat dari dahulu hingga hari ini.

Dari ungkapan “ Ibu Bumi-Bapa Angkasa” ini, biasanya dikaitkan dengan pemahaman tentang asal mula kejadian manusia dan tujuan hidup manusia. Atau sering dikenal dengan istilah Sangkan Paraning Dumadi. Ini sebuah ungkapan sederhana namun bila diselami lebih jauh, mengandung konsep yang sangat realistis dan makna mendalam yang menjelaskan tentang asal mula hidup dan kehidupan manusia.

Seperti diketahui dalam tradisi jawa, kesadaran akan hidup dan kehidupan sering kali diungkapan dalam beragam bentuk simbolik untuk menyampakaikan suatu makna. Dan simbol-simbol tersebut biasanya diambil dari kenyataan hidup sehari-hari disekitarnya. Maka ketika hendak memaparkan tentang asal usul kejadian manusia, lahirlah ungkapan simbolik berupa “ Ibu Bumi- Bapa Angkasa” ini.

Hal ini berangkat dari kenyataan bahwa hadirnya manusia di alam dunia ini, berasal dari Ibu dan Bapaknya. Dari anak kecil sampai orang dewasa semua dengan mudah menerima kenyataan ini bahwa asal usulnya dari Ibu dan Bapaknya. Sebuah fakta yang jelas, sederhana, nyata dan tidak terbantahkan.

Dengan berkembangnya tingkat kedewasaan seseorang, kebutuhan akan pengetahuan asal usulnya tentu juga ikut berkembang. Sehingga pemahaman tentang asal usulnya yang berasal dari Ibu dan Bapaknya ini pun mengalami perkembangan dalam pemaknaannya.

Dalam perkembangannya manusia menyadari bahwa dirinya terdiri dari Jiwa dan Raga. Maka mulailah muncul pertanyaan dari mana asal Jiwanya, dan dari mana asal Raganya.

Dalam konsep Jawa, berikutnya dijelaskan bahwa Raga manusia terbentuk dari unsur-unsur alam material yaitu Udara, Api, Air, dan Tanah. Semua unsur materi itu berasal dari Ibu yang pembentukannya terjadi ketika manusia itu ada didalam kandungan. Sedang jiwa manusia berasal dari unsur yang bersifat immaterial yang sering diungkapkan dengan istilah Roh/Nyawa/ Suksma yang bibitnya (wiji) berasal dari Bapa.

Perpaduan antara unsur material dan Immaterial dari Ibu dan Bapa inilah yang berikutnya menjadi satu kesatuan tunggal membentuk hidup Manusia seutuhnya.

Dari kenyataan tersebut diatas, maka peran Ibu yang menjadi asal unsure material Ragawi manusia, dipahami sebagai sumber wadah. Sedang Bapa yang menjadi asal unsur  immaterial Rohani manusia, dipahami sebagai sumber isi. Dengan adanya wadah dan isi inilah terbentuk Lahir dan Batin Manusia. Dimana hal yang bersifat material adalah bentuk lahir manusia, sedang hal yang bersifat immaterial adalah bentuk batin manusia.

Dalam ungkapan lain dinyatakan bahwa Ibu adalah Lahan, sedang Bapa adalah Bibitnya. Ini mengacu pada kehidupan keseharian masyarakat jawa pada masa lalu yang hidup secara agraris. Dalam pola agraris ini orang jawa belajar dari lingkungannya tentang hidup dan kehidupan dari tanam-tanaman. Dimana untuk hidupnya sebuah tanaman dibutuhkan adanya Bibit dan Lahan.

Selanjutnya pemaknaan akan jiwa dan raga tersebut mengalami pendalaman dan perluasan makna lebih lanjut berupa kenyataan adanya Jagad kembar antara dunia kecil (jagad cilik) dan dunia besarnya (jagad besar). Kalau dalam diri manusia terbentuk karena adanya perpaduan dua unsur yang bersifat Immaterial dan Material, berupa Rohani dan Jasmani, maka demikian pula segala bentuk yang ada di alam semesta ini bisa terbentuk juga karena adanya  perpaduan dua kenyatan tersebut. Sehingga orang jawa meyakini bahwa seluruh bentuk yang ada di alam semesta ini selain memiliki wujud wadagnya juga terdapat roh yang ada di dalamnya.

Untuk itu mulai dikenal pengertian adanya Bapa Semesta dan Ibu Semesta yang melahirkan seluruh jagad raya dan seisinya.

Pola simbolisasi ini tentu bukan sebuah pemahaman dangkal berupa adanya sosok Bapa dan Ibu yang berbentuk manusia yang melahirkan semesta. Tapi ini hanya sebuah konsep simbolik personifikasi dari sebuah kenyataan untuk memudahkan manusia memahaminya. Mengingat alam semesta dan seisinya adalah kenyataan Yang Maha Besar  dan manusia segala keterbatasannya merasa tidak mampu menjangkau seutuhnya. Kenyataan tersebut sering diistilahkan dengan ungakapan “tan kena kinaya ngapa” yang tidak bisa dimisalkan dengan apapun juga.

Meski sadar dengan keterbatasannya dan merasa tidak mampu menjangkau seutuhnya, namun  dorongan untuk memahami alam semesta sebagai bagian kenyataan dari kehidupannya ini, tetap ada dalam diri manusia. Hal menjadikan manusia berusaha mencari pola yang bisa mendekati untuk memahaminya. Dari sanalah mulai muncul upaya simbolisasi untuk memudahkan pemahaman dari sebuah kenyataan.

Bagi orang jawa sesuatu akan lebih mudah dipahami bila kita mau tepa slira atau menempatkan diri sebagaimana keadaan dan kedudukan dari sesuatu tersebut. Maka  dengan mengambil kenyataan yang  berangkat dari dirinya, yang terlahir Ibu dan Bapa, maka alam semesta pun dipahami secara tepa slira juga terbentuk dari Ibu semesta dan Bapa semesta.

Ibu semesta adalah kenyataan alam semesta sebagai kancah (wadah) dari sebuah bentuk (Wujud) kehidupan yang bersifat Material (Wadag).

Sebagai Wadah-Wujud-Wadag, kenyataan Ibu Semesta ini keberadaannya dipahami sebagai kenyataan dari kancah seluruh kejadian di alam semesta dengan segala perubahannya yang bersifat material.

Dalam hidup manusia, kenyataan Ibu semesta ini memiliki makna sangat luas dan mendasar  bagi kehidupan kuwadagan (fisik) manusia yang lair di bumi. Secara umum raga wadag manusia lahir di bumi dan akan kembali ke bumi. Oleh karenanya Ibu semesta ini sering kali distilahkan dengan Ibu Bumi. Yaitu seluruh kenyataan yang menjadi asal mula dan membentuk kehidupan material (kuwadagan) dan akan menjadi akhir kehidupan kuwadagan. Dengan kata lain Ibu Bumi adalah “sangkan paraning dumadi kuwadagan”. Atau kenyataan asal mula dan akhir kehidupan material termasuk bagi kehidupan kuwadagan manusia di Bumi.

Bapa Semesta adalah kenyataan alam semesta sebagai isi dari segala benih (wiji) penjelmaan/pangejowantah (titis) yang bersifat rohaniah/ kasuksman (suwung).

Sebagai Isi-Wiji- Titis-Suwung, kenyataan Bapa Semesta ini keberadaannya  dipahami sebagai kenyataan dari segala sesuatu yang tidak terbatas (awang), bersifat Immaterial/ Rohaniah/ kasuskman (Uwung)  namun mengisi dan menjadi asal mula dan akhir  penjelmaan / mangejowantah dari segala bentuk yang ada di alam semesta.  Kenyataan yang luas tak terbatas tapi meliputi segala sesuatu yang ada ini berikutnya dipahami sebagai gambaran bagai Angkasa Raya (Awang Uwung). Sehingga berikutnya Bapa Semesta ini diistilahkan sebagai Bapa Angkasa. Sebuah kenyataan yang menjadi asal mula dan akhir dari penjelmaan rohani. Atau “sangkan paraning dumadi kasukman ”.

Secara umum, kehidupan dipahami sebagai sesuatu yang terlahir, bergerak, berubah, tumbuh, berkembang, dan berbuah, berbiji. Seperti halnya kehidupan pada tumbuhan, hewan dan manusia. Sehingga segala wujud kuwadagan baru bisa dikatakan “hidup” bila bentuk wadag tersebut sudah mulai “berisi sesuatu” yang memungkinkan terbentuknya kehidupan dengan ssegala keadaannya tersebut terjadi. Dan sesuatu  yang mengisi kuwadagan itu bersifat Rohani.

Tanpa adanya “Yang Rohani” kehidupan tidak terjadi. Artinya tidak ada kelahiran sebuah kehidupan tanpa adanya “ Yang Rohani”. Dan sebaliknya, bila suatu bentuk wadag sudah ditinggalkan oleh “Yang Rohani” maka bentuk wadag tersebut akan mati.

Sementara ini kebanyakan kita mengklasifikasikan bahwa yang dimaksud Mahkluk hidup di alam wadag ini adalah Manusia, Hewan, Tumbuhan. Sedang tanah, api, air, dan udara bukan termasuk makhluk hidup. Keempat anasir alam tersebut hanyalah benda mati penyusun jasad wadag alam semesta termasuk raga wadag manusia.

Namun orang jawa memiliki pandangan yang unik tentang bentuk kehidupan dan konsep kehidupan berkait dengan alam semesta. Bahwa gunung, samudera, bulan, bintang, matahari, lembah, sungai dan beragam ekosistem alam wadag lainnya, semua memiliki Roh juga sebagaimana manusia, hewan. dan tumbuhan. Sehingga beragam ekosistem alam tersebut diterima sebagai sesuatu yang hidup,  yang bisa diajak berkomunikasi, berdialog dan bergaul sebagaimana manusia berhubungan dengan hewan dan tumbuhan.  Hanya saja mungkin dalam bergaulnya  menggunakan bahasa dan tata cara yang sesuai dengan keadaannya masing-masing. Pola komunikasi dan bergaul bersama ekosistem alam ini biasanya diungkapkan dalam beragam tradisi prosesi alam yang sangat beragam bentuknya.





Masyarakat Jawa dalam memahami hidup dan kehidupannya memiliki beragam pola ungkapan untuk menyampaikan konsep hidupnya yang bersifat lahiriah maupun batiniah. Salah satu ungkapan yang sering didapati di tengah masyarakat Jawa adalah “ Ibu Bumi-Bapa Angkasa”.

Sejak kapan dan siapa yang melahirkan ungkapan ini,-seperti kebanyakan ungakapan hidup yang lainnya dalam tradisi jawa-, tidak pernah diketahui secara pasti asal mulanya. Hanya saja ungkapan ini selalu hidup ditengah masyarakat lahir secara turun temurun melalui tutur ‘gethok tular’ dalam masyarakat dari dahulu hingga hari ini.

Dari ungkapan “ Ibu Bumi-Bapa Angkasa” ini, biasanya dikaitkan dengan pemahaman tentang asal mula kejadian manusia dan tujuan hidup manusia. Atau sering dikenal dengan istilah Sangkan Paraning Dumadi. Ini sebuah ungkapan sederhana namun bila diselami lebih jauh, mengandung konsep yang sangat realistis dan makna mendalam yang menjelaskan tentang asal mula hidup dan kehidupan manusia.

Seperti diketahui dalam tradisi jawa, kesadaran akan hidup dan kehidupan sering kali diungkapan dalam beragam bentuk simbolik untuk menyampakaikan suatu makna. Dan simbol-simbol tersebut biasanya diambil dari kenyataan hidup sehari-hari disekitarnya. Maka ketika hendak memaparkan tentang asal usul kejadian manusia, lahirlah ungkapan simbolik berupa “ Ibu Bumi- Bapa Angkasa” ini.

Hal ini berangkat dari kenyataan bahwa hadirnya manusia di alam dunia ini, berasal dari Ibu dan Bapaknya. Dari anak kecil sampai orang dewasa semua dengan mudah menerima kenyataan ini bahwa asal usulnya dari Ibu dan Bapaknya. Sebuah fakta yang jelas, sederhana, nyata dan tidak terbantahkan.

Dengan berkembangnya tingkat kedewasaan seseorang, kebutuhan akan pengetahuan asal usulnya tentu juga ikut berkembang. Sehingga pemahaman tentang asal usulnya yang berasal dari Ibu dan Bapaknya ini pun mengalami perkembangan dalam pemaknaannya.

Dalam perkembangannya manusia menyadari bahwa dirinya terdiri dari Jiwa dan Raga. Maka mulailah muncul pertanyaan dari mana asal Jiwanya, dan dari mana asal Raganya.

Dalam konsep Jawa, berikutnya dijelaskan bahwa Raga manusia terbentuk dari unsur-unsur alam material yaitu Udara, Api, Air, dan Tanah. Semua unsur materi itu berasal dari Ibu yang pembentukannya terjadi ketika manusia itu ada didalam kandungan. Sedang jiwa manusia berasal dari unsur yang bersifat immaterial yang sering diungkapkan dengan istilah Roh/Nyawa/ Suksma yang bibitnya (wiji) berasal dari Bapa.

Perpaduan antara unsur material dan Immaterial dari Ibu dan Bapa inilah yang berikutnya menjadi satu kesatuan tunggal membentuk hidup Manusia seutuhnya.

Dari kenyataan tersebut diatas, maka peran Ibu yang menjadi asal unsure material Ragawi manusia, dipahami sebagai sumber wadah. Sedang Bapa yang menjadi asal unsur  immaterial Rohani manusia, dipahami sebagai sumber isi. Dengan adanya wadah dan isi inilah terbentuk Lahir dan Batin Manusia. Dimana hal yang bersifat material adalah bentuk lahir manusia, sedang hal yang bersifat immaterial adalah bentuk batin manusia.

Dalam ungkapan lain dinyatakan bahwa Ibu adalah Lahan, sedang Bapa adalah Bibitnya. Ini mengacu pada kehidupan keseharian masyarakat jawa pada masa lalu yang hidup secara agraris. Dalam pola agraris ini orang jawa belajar dari lingkungannya tentang hidup dan kehidupan dari tanam-tanaman. Dimana untuk hidupnya sebuah tanaman dibutuhkan adanya Bibit dan Lahan.

Selanjutnya pemaknaan akan jiwa dan raga tersebut mengalami pendalaman dan perluasan makna lebih lanjut berupa kenyataan adanya Jagad kembar antara dunia kecil (jagad cilik) dan dunia besarnya (jagad besar). Kalau dalam diri manusia terbentuk karena adanya perpaduan dua unsur yang bersifat Immaterial dan Material, berupa Rohani dan Jasmani, maka demikian pula segala bentuk yang ada di alam semesta ini bisa terbentuk juga karena adanya  perpaduan dua kenyatan tersebut. Sehingga orang jawa meyakini bahwa seluruh bentuk yang ada di alam semesta ini selain memiliki wujud wadagnya juga terdapat roh yang ada di dalamnya.

Untuk itu mulai dikenal pengertian adanya Bapa Semesta dan Ibu Semesta yang melahirkan seluruh jagad raya dan seisinya.

Pola simbolisasi ini tentu bukan sebuah pemahaman dangkal berupa adanya sosok Bapa dan Ibu yang berbentuk manusia yang melahirkan semesta. Tapi ini hanya sebuah konsep simbolik personifikasi dari sebuah kenyataan untuk memudahkan manusia memahaminya. Mengingat alam semesta dan seisinya adalah kenyataan Yang Maha Besar  dan manusia segala keterbatasannya merasa tidak mampu menjangkau seutuhnya. Kenyataan tersebut sering diistilahkan dengan ungakapan “tan kena kinaya ngapa” yang tidak bisa dimisalkan dengan apapun juga.

Meski sadar dengan keterbatasannya dan merasa tidak mampu menjangkau seutuhnya, namun  dorongan untuk memahami alam semesta sebagai bagian kenyataan dari kehidupannya ini, tetap ada dalam diri manusia. Hal menjadikan manusia berusaha mencari pola yang bisa mendekati untuk memahaminya. Dari sanalah mulai muncul upaya simbolisasi untuk memudahkan pemahaman dari sebuah kenyataan.

Bagi orang jawa sesuatu akan lebih mudah dipahami bila kita mau tepa slira atau menempatkan diri sebagaimana keadaan dan kedudukan dari sesuatu tersebut. Maka  dengan mengambil kenyataan yang  berangkat dari dirinya, yang terlahir Ibu dan Bapa, maka alam semesta pun dipahami secara tepa slira juga terbentuk dari Ibu semesta dan Bapa semesta.

Ibu semesta adalah kenyataan alam semesta sebagai kancah (wadah) dari sebuah bentuk (Wujud) kehidupan yang bersifat Material (Wadag).

Sebagai Wadah-Wujud-Wadag, kenyataan Ibu Semesta ini keberadaannya dipahami sebagai kenyataan dari kancah seluruh kejadian di alam semesta dengan segala perubahannya yang bersifat material.

Dalam hidup manusia, kenyataan Ibu semesta ini memiliki makna sangat luas dan mendasar  bagi kehidupan kuwadagan (fisik) manusia yang lair di bumi. Secara umum raga wadag manusia lahir di bumi dan akan kembali ke bumi. Oleh karenanya Ibu semesta ini sering kali distilahkan dengan Ibu Bumi. Yaitu seluruh kenyataan yang menjadi asal mula dan membentuk kehidupan material (kuwadagan) dan akan menjadi akhir kehidupan kuwadagan. Dengan kata lain Ibu Bumi adalah “sangkan paraning dumadi kuwadagan”. Atau kenyataan asal mula dan akhir kehidupan material termasuk bagi kehidupan kuwadagan manusia di Bumi.

Bapa Semesta adalah kenyataan alam semesta sebagai isi dari segala benih (wiji) penjelmaan/pangejowantah (titis) yang bersifat rohaniah/ kasuksman (suwung).

Sebagai Isi-Wiji- Titis-Suwung, kenyataan Bapa Semesta ini keberadaannya  dipahami sebagai kenyataan dari segala sesuatu yang tidak terbatas (awang), bersifat Immaterial/ Rohaniah/ kasuskman (Uwung)  namun mengisi dan menjadi asal mula dan akhir  penjelmaan / mangejowantah dari segala bentuk yang ada di alam semesta.  Kenyataan yang luas tak terbatas tapi meliputi segala sesuatu yang ada ini berikutnya dipahami sebagai gambaran bagai Angkasa Raya (Awang Uwung). Sehingga berikutnya Bapa Semesta ini diistilahkan sebagai Bapa Angkasa. Sebuah kenyataan yang menjadi asal mula dan akhir dari penjelmaan rohani. Atau “sangkan paraning dumadi kasukman ”.

Secara umum, kehidupan dipahami sebagai sesuatu yang terlahir, bergerak, berubah, tumbuh, berkembang, dan berbuah, berbiji. Seperti halnya kehidupan pada tumbuhan, hewan dan manusia. Sehingga segala wujud kuwadagan baru bisa dikatakan “hidup” bila bentuk wadag tersebut sudah mulai “berisi sesuatu” yang memungkinkan terbentuknya kehidupan dengan ssegala keadaannya tersebut terjadi. Dan sesuatu  yang mengisi kuwadagan itu bersifat Rohani.

Tanpa adanya “Yang Rohani” kehidupan tidak terjadi. Artinya tidak ada kelahiran sebuah kehidupan tanpa adanya “ Yang Rohani”. Dan sebaliknya, bila suatu bentuk wadag sudah ditinggalkan oleh “Yang Rohani” maka bentuk wadag tersebut akan mati.

Sementara ini kebanyakan kita mengklasifikasikan bahwa yang dimaksud Mahkluk hidup di alam wadag ini adalah Manusia, Hewan, Tumbuhan. Sedang tanah, api, air, dan udara bukan termasuk makhluk hidup. Keempat anasir alam tersebut hanyalah benda mati penyusun jasad wadag alam semesta termasuk raga wadag manusia.

Namun orang jawa memiliki pandangan yang unik tentang bentuk kehidupan dan konsep kehidupan berkait dengan alam semesta. Bahwa gunung, samudera, bulan, bintang, matahari, lembah, sungai dan beragam ekosistem alam wadag lainnya, semua memiliki Roh juga sebagaimana manusia, hewan. dan tumbuhan. Sehingga beragam ekosistem alam tersebut diterima sebagai sesuatu yang hidup,  yang bisa diajak berkomunikasi, berdialog dan bergaul sebagaimana manusia berhubungan dengan hewan dan tumbuhan.  Hanya saja mungkin dalam bergaulnya  menggunakan bahasa dan tata cara yang sesuai dengan keadaannya masing-masing. Pola komunikasi dan bergaul bersama ekosistem alam ini biasanya diungkapkan dalam beragam tradisi prosesi alam yang sangat beragam bentuknya.




KEPUASAN BATIN DUNIA HIBURAN & DUNIA ROHANI



Oleh : Mas Tiyo

Mungkin pernah terlintas di pikiran Kita,  paling enak bekerja di dunia hiburan.  Setiap hari seperti liburan terus, bisa  senang-senang, jalan-jalan, makan-makan, nyanyi-nyayi,  kongkow-kongkow, ngobrol sana-sini,  dan semua dibayari. Nah..! Yang terakhir ini  yang paling asyik. Tapi masalahnya siapa yang mau mbayari ?!

Namanya dunia hiburan, ya selalu  mengasyikkan dan menghibur. Karena memang itulah produk utamanya. Banyak orang rela melepas sejumlah biaya demi bisa menukar suasana hari-hari yang penuh beban dan menjenuhkan, dengan suasana nyaman dan menggembirakan. Kesempatan inilah yang dimanfaatkan oleh dunia hiburan untuk mendulang uang.

Namun bagi pekerja di dunia hiburan sendiri, hiburan adalah pekerjaan. Pekerjaan artinya tanggung jawab. Tanggung jawab artinya kewajiban yang harus dijalankan. Kalau sesuatu wajib dijalankan tiap hari, jadinya menjenuhkan. Kalau jenuh butuh hiburan.

Lha..! kalau gitu kemana para penghibur ini harus liburan mencari hiburan ?

Pertanyaan diatas mungkin terkesan konyol,  mbuled dan nganyelke (membingungkan dan menjengkelkan). Namun fakta menunjukkan banyak para pekerja di dunia hiburan mengalami stress, sampai depresi dan gangguan kejiwaan lainnya.  Sehingga banyak diantara mereka harus terjebak dalam cengkraman berbagai jenis obat terlarang dan Minuman keras serta berurusan dengan pihak berwajib.

Sebut saja para selebritis dunia,seperti Lindsay Lohan, Lady Gaga, Jhonny Deep, George Clooney dan sederetan artis lainnya yang akrab dengan Narkoba dan minuman keras. Hal itu dilakukan  demi menyangga kesuksesan karier mereka di dunia Hiburan. Bahkan konon Whitney Houston sampai akhir hayatnya tidak bisa lepas dari Narkoba.  (info dari berjambang.blogspot.com ).

Sebuah ironi kehidupan. Penghibur yang tidak terhibur, seperti ayam mati dalam Lumbung yang penuh Padi.

Seperti halnya makanan untuk konsumsi kebutuhan fisik kita, Hiburan adalah konsumsi batin manusia. Dalam upaya pemenuhannya perlu keterkaitan pihak lain untuk membentuk jaringan kehidupan dan berputar sebagai siklus penghidupan.

Meski lezat dan tersedia setiap saat, tidak mungkin tukang sate, setiap hari memberi makan sate untuk seluruh keluarganya. Bisa bludrek  satu keluarga, gara-gara kebanyakan makan daging kambing. Atau jualannya bisa merugi kalau kebanyakan dimakan sendiri.

Demikian pula para pekerja Hiburan. Beragam sajian yang ditampilkannya, dalam keadaan tertentu tidak bisa dinikmatinya sendiri.

Seperti pengakuan Ruth Sahanaya dalam salah satu kesempatan, ketika lagunya “Kaulah Segala Bagiku” meledak di pasaran, setiap pentas banyak penonton yang memintanya menyanyikan lagu tersebut. Bagi Ruth, mungkin pada awalnya mengasyikkan, karena lagunya digemari banyak orang. Ketika di Panggung, Dia menyanyi dengan penuh semangat dan bisa menikmatinya. Tapi lama-lama, kalau setiap pentas, lagu itu terus yang harus dinyanyikan, tentu ada jenuhnya juga. Padahal kalau sedang booming, dalam sehari seorang Artis bisa beberapa kali tampil di atas panggung. Bisa sampai eneg, dan  blokekan (mau muntah) rasanya menyanyikan lagu itu terus menerus. 

Hal demikian ini mungkin juga dialami oleh para artis lainnya yang sempat karyanya Booming  di pasaran. Walau mungkin dirinya sudah sampai puncak jenuh dan muak melakukannya, tapi konsekwensi sebagai artis, mengharuskan dirinya mengutamakan keinginan penonton daripada keinginannya sendiri.

Belum lagi masalah dalam mempertahankan puncak ketenarannya. Dihadapkan dengan para pendatang baru, kompetisi untuk merebut perhatian publik tidak mungkin terelakkan. Benturan berbagai kepentingan dalam industri hiburan inilah yang sering menjadikan seorang artis mengalami stres dan depresi berat di saat mencapai puncak kejayaannya.

Sehingga banyak yang mencari jalan pintas untuk mengatasi masalah dengan mengkonsumsi obat anti depresi, obat tidur, atau obat-obatan psikotropika, minuman keras, diskotik, free sex dan hal-hal negatif lainnya.

Tapi banyak juga Artis yang menggunakan cara lain yang lebih positif untuk mengatasi tekanan dalam kehidupan keartisannya. Diantaranya adalah terjun kedunia kerohanian. Seperti yang sudah dilakukan oleh Richard Gere yang berasyik masyuk dengan kebudhaannya. Madona dengan Kabbalahnya, Gito Rolies dengan Islamannya.

Secaran umum dipahami bahwa dunia kerohanian adalah ruang positif untuk mencari solusi masalah batin. Maka wajar bila para Artis –sebagai pekerja pemuas batin – namun merasa tidak menemukan kepuasan dari lingkungannya, mau memasuki dunia kerohanian untuk menemukan kepuasan batinnya.

Namun dalam beberapa keadaannya,  antara dunia hiburan dan dunia Rohani terdapat pandangan sbb. :  
1.  Dunia rohani sama dengan dunia hiburan, keduanya mampu memberi kepuasan batin, hanya saja dari sisi yang berbeda. 
2.  Ada juga yang mencoba mengalkulturasikan Dunia Rohani dan Dunia Hiburan. 
3.  Dunia Rohani mampu memberikan kepuasan batin lebih dalam daripada dunia hiburan.


Add. 1.
Untuk orang yang berpandangan Dunia Rohani sama dengan Dunia Hiburan, dia menempatkan Dunia Rohani sama halnya dunia Hiburan yang mampu mendatangkan beragam sensasi yang mampu menghibur seseorang.

Dunia Rohani bisa menghadirkan beragam sensasi yang mampu melenyapkan segala kepedihan, kekecewaan, ketakutan, dan segala kegundahan di hati seperti halnya dunia hiburan. Hal ini biasanya akan menjadikan dunia Rohani sebagai tempat pelarian, manakala dunia tempatnya bergulat dengan kehidupan, terasa mengecewakan, sedih dan menyakitkan baginya.

Seperti halnya tempat wisata, Dunia Rohani bisa menjadi tempat wisata batin dengan beragam sensasinya bagi orang-orang tertentu. Tapi namanya wisata, artinya keberadaan seorang wisatawan  disana, tentu  hanya sementara. Seorang Wisatawan tidak akan menetap atau mengembangkan diri ditempat tersebut.  

Dalam pandangan ini dunia Rohani hanya sekedar tempat melepas lelah, mencari suasana  baru, menghirup udara dari dunia rohani yang segar. Setelah dirasa cukup menemukan kenyamanan, ketentraman, dan kekuatan batin, kembali dirinya ke tempat asalnya. Dan dunia rohani ditinggalkan kembali seperti semula, hanya menyisakan kenangan sesaat di dalam batinnya. Kapan-kapan bila ada waktu dan kebutuhan mungkin akan dikunjunginya lagi.  Bila sempat !

Add. 2.
Pandangan tentang akulturasi Dunia Rohani dan Dunia Hiburan, bisa mengarah dalam dua keadaan. Dunia Rohani kehilangan makna sehingga tinggal menjadi kancah mencari sensasi hiburan semata. Atau Dunia Rohani semakin kuat eksistensi dan maknanya, karena disajikan secara menghibur sehingga disukai oleh banyak orang.

Dunia Rohani akan cenderung kehilangan makna, manakala tujuan utamanya sudah berubah tidak menuju Rohani. Hal Ini sebenarnya hampir mirip dengan pandangan no 1 diatas. Kalau diatas orang hanya berwisata ke dunia Rohani untuk mencari sensasi rohani. Sedang pada keadaan ini, orang bukak lapak hiburan di dunia Rohani. Artinya tujuan utama dari keadaan ini bukan Rohani tapi lebih  ke arah komersialisasi dunia hiburan, hanya saja menggunakan konten yang berwarna rohani.

Sedang arah menuju Rohani yang lebih kuat, manakala menempatakan  hiburan sebagai nilai tambah untuk memberi warna yang lebih menarikdari beragam sajian subtansi Rohaniah.

Seperti kita tahu dunia rohani, cenderung bersifat Substantif, esensial, maknawiah, filosofis yang kadang butuh pemikiran yang kuat, mendalam dan kompleks, terkesan serius dan sangat tidak mengasyikkan. Hal ini menyebabkan Dunia Rohani hanya digemari oleh segelintir kalangan tertentu saja. Bahkan cenderung diidentikkan hanya untuk orang-orang yang sudah lanjut usia, karena menjelang menghadapi liang kubur.

Maka dengan adanya sentuhan yang bersifat menghibur, bisa memberi warna dunia Rohani lebih beragam dan menarik, tapi tidak berlebihan. Sehingga bisa menarik bukan hanya orang-orang tua tapi juga mengena pada spektrum usia yang lebih luas dari anak-anak muda dan beragam kalangan.

Add. 3
Dunia Rohani mampu memberikan kepuasan batin lebih dalam daripada dunia hiburan. Disini orang berpandangan bahwa dunia Rohani memiliki dimensi yang lebih mendalam daripada dunia hiburan. Dimana, pada dunia hiburan, kepuasan batin seseorang lebih berakar dari sesuatu yang bersifat sensasi inderawi. Sedang indera manusia cenderung mudah dimanipulasi dengan berbagai cara rekayasa. Sehinggga kepuasan yang di dapat pun juga bisa berupa kepuasan yang bersifat manipulatif inderawi.

Seperti waktu kita kecil pernah bermain di atas jembatan sebuah sungai yang  mengalir deras. Bila kita tersebut terus-menerus menatap aliran sungai, bisa dirasakan sensasi seolah-olah diri kita yang diatas  jembatan sedang berjalan.  Ini merupakan hiburan tersendiri waktu kita kecil. Prinsip ini berikutnya dikembangkan menjadi sebuah Wahana Hiburan 3 Dimensi di Dunia Fantasi.

Kepuasan sensasional sepeti diatas tentu saja hanya bersifat semu, hanya permukaan dan tidak mengakar di dalam batin seseorang. Oleh karenanya dunia hiburan yang mengedepankan sensasi ini cenderung bersifat sesaat dan populer. Mudah hilang sejalan berganti dengan sensasi baru yang datang.

Sedang di dalam Dunia Rohani, tujuan utama adalah menggali substansi atau esensi dari suatu keadaan yang menjadi inti sari dan akar dari kenyataan hidup itu sendiri. Dan ketika seseorang mampu menemukan intisari Hidupnya tersebut, dari sana akan bisa tumbuh berkembang  banyak ragam kehidupan yang bermanfaat dalam hidupnya. Maka sensasi kepuasan yang didapatnya terasa jauh lebih mendalam, dan lebih meluas daripada hanya sekedar kepuasan sensasi inderawi sesaat.

Kepuasan seseorang bersifat esensial dalam Dunia Rohani ini, kalau diibaratkan dengan wisata seperti diatas, dia bukan hanya sekedar pengunjung tempat wisata, yang aksesnya terbatas hanya sekedar menikmati sensasi saat kunjungan dengan sejumlah biaya yang harus dikeluarkan, lalu kembali ke tempat asalnya. Dia juga bukan seseorang yang membuka lapak di tempat wisata tersebut untuk menjajakan produk rohaniah. Tapi dia adalah pemilik tempat wisata itu sendiri. Karena dia mampu menciptakan dan merintis tempat wisata tersebut secara mandiri. Setelah melewati perjalanan panjang mencari lokasi dan memanfaatkan serta mengelola sumber daya yang ada ditempat tersebut. Sehingga tempat tersebut bisa dinikmati oleh banyak orang. Termasuk para pedagang yang sewa lapak di tempat wisata miliknya.