Oleh : Mas Tiyo
Masyarakat
Jawa dalam memahami hidup dan kehidupannya memiliki beragam pola ungkapan untuk
menyampaikan konsep hidupnya yang bersifat lahiriah maupun batiniah. Salah satu
ungkapan yang sering didapati di tengah
masyarakat Jawa adalah “ Ibu Bumi-Bapa Angkasa”.
Sejak
kapan dan siapa yang melahirkan ungkapan ini,-seperti kebanyakan ungakapan
hidup yang lainnya dalam tradisi jawa-, tidak pernah diketahui secara pasti
asal mulanya. Hanya saja ungkapan ini selalu hidup ditengah masyarakat lahir
secara turun temurun melalui tutur ‘gethok tular’ dalam masyarakat dari dahulu
hingga hari ini.
Dari
ungkapan “ Ibu Bumi-Bapa Angkasa” ini, biasanya dikaitkan dengan pemahaman
tentang asal mula kejadian manusia dan tujuan hidup manusia. Atau sering
dikenal dengan istilah Sangkan Paraning
Dumadi. Ini sebuah ungkapan sederhana namun bila diselami lebih jauh,
mengandung konsep yang sangat realistis dan makna mendalam yang menjelaskan
tentang asal mula hidup dan kehidupan manusia.
Seperti
diketahui dalam tradisi jawa, kesadaran akan hidup dan kehidupan sering kali
diungkapan dalam beragam bentuk simbolik untuk menyampakaikan suatu makna. Dan
simbol-simbol tersebut biasanya diambil dari kenyataan hidup sehari-hari
disekitarnya. Maka ketika hendak memaparkan tentang asal usul kejadian manusia,
lahirlah ungkapan simbolik berupa “ Ibu Bumi- Bapa Angkasa” ini.
Hal
ini berangkat dari kenyataan bahwa hadirnya manusia di alam dunia ini, berasal
dari Ibu dan Bapaknya. Dari anak kecil sampai orang dewasa semua dengan mudah
menerima kenyataan ini bahwa asal usulnya dari Ibu dan Bapaknya. Sebuah fakta
yang jelas, sederhana, nyata dan tidak terbantahkan.
Dengan
berkembangnya tingkat kedewasaan seseorang, kebutuhan akan pengetahuan asal
usulnya tentu juga ikut berkembang. Sehingga pemahaman tentang asal usulnya
yang berasal dari Ibu dan Bapaknya ini pun mengalami perkembangan dalam
pemaknaannya.
Dalam
perkembangannya manusia menyadari bahwa dirinya terdiri dari Jiwa dan Raga.
Maka mulailah muncul pertanyaan dari mana asal Jiwanya, dan dari mana asal
Raganya.
Dalam
konsep Jawa, berikutnya dijelaskan bahwa Raga manusia terbentuk dari
unsur-unsur alam material yaitu Udara, Api, Air, dan Tanah. Semua unsur materi
itu berasal dari Ibu yang pembentukannya terjadi ketika manusia itu ada didalam
kandungan. Sedang jiwa manusia berasal dari unsur yang bersifat immaterial yang
sering diungkapkan dengan istilah Roh/Nyawa/ Suksma yang bibitnya (wiji)
berasal dari Bapa.
Perpaduan
antara unsur material dan Immaterial dari Ibu dan Bapa inilah yang berikutnya
menjadi satu kesatuan tunggal membentuk hidup Manusia seutuhnya.
Dari
kenyataan tersebut diatas, maka peran Ibu yang menjadi asal unsure material
Ragawi manusia, dipahami sebagai sumber wadah. Sedang Bapa yang menjadi asal
unsur immaterial Rohani manusia,
dipahami sebagai sumber isi. Dengan adanya wadah dan isi inilah terbentuk Lahir
dan Batin Manusia. Dimana hal yang bersifat material adalah bentuk lahir
manusia, sedang hal yang bersifat immaterial adalah bentuk batin manusia.
Dalam
ungkapan lain dinyatakan bahwa Ibu adalah Lahan, sedang Bapa adalah Bibitnya.
Ini mengacu pada kehidupan keseharian masyarakat jawa pada masa lalu yang hidup
secara agraris. Dalam pola agraris ini orang jawa belajar dari lingkungannya
tentang hidup dan kehidupan dari tanam-tanaman. Dimana untuk hidupnya sebuah
tanaman dibutuhkan adanya Bibit dan Lahan.
Selanjutnya
pemaknaan akan jiwa dan raga tersebut mengalami pendalaman dan perluasan makna
lebih lanjut berupa kenyataan adanya Jagad kembar antara dunia kecil (jagad
cilik) dan dunia besarnya (jagad besar). Kalau dalam diri manusia terbentuk
karena adanya perpaduan dua unsur yang bersifat Immaterial dan Material, berupa
Rohani dan Jasmani, maka demikian pula segala bentuk yang ada di alam semesta
ini bisa terbentuk juga karena adanya perpaduan dua kenyatan tersebut. Sehingga
orang jawa meyakini bahwa seluruh bentuk yang ada di alam semesta ini selain
memiliki wujud wadagnya juga terdapat roh yang ada di dalamnya.
Untuk
itu mulai dikenal pengertian adanya Bapa Semesta dan Ibu Semesta yang
melahirkan seluruh jagad raya dan seisinya.
Pola
simbolisasi ini tentu bukan sebuah pemahaman dangkal berupa adanya sosok Bapa
dan Ibu yang berbentuk manusia yang melahirkan semesta. Tapi ini hanya sebuah
konsep simbolik personifikasi dari sebuah kenyataan untuk memudahkan manusia
memahaminya. Mengingat alam semesta dan seisinya adalah kenyataan Yang Maha
Besar dan manusia segala keterbatasannya
merasa tidak mampu menjangkau seutuhnya. Kenyataan tersebut sering diistilahkan
dengan ungakapan “tan kena kinaya ngapa”
yang tidak bisa dimisalkan dengan apapun juga.
Meski
sadar dengan keterbatasannya dan merasa tidak mampu menjangkau seutuhnya,
namun dorongan untuk memahami alam semesta
sebagai bagian kenyataan dari kehidupannya ini, tetap ada dalam diri manusia.
Hal menjadikan manusia berusaha mencari pola yang bisa mendekati untuk
memahaminya. Dari sanalah mulai muncul upaya simbolisasi untuk memudahkan
pemahaman dari sebuah kenyataan.
Bagi
orang jawa sesuatu akan lebih mudah dipahami bila kita mau tepa slira atau menempatkan diri sebagaimana keadaan dan kedudukan
dari sesuatu tersebut. Maka dengan
mengambil kenyataan yang berangkat dari
dirinya, yang terlahir Ibu dan Bapa, maka alam semesta pun dipahami secara tepa slira juga terbentuk dari Ibu
semesta dan Bapa semesta.
Ibu
semesta adalah kenyataan alam semesta sebagai kancah (wadah) dari sebuah bentuk
(Wujud) kehidupan yang bersifat Material (Wadag).
Sebagai
Wadah-Wujud-Wadag, kenyataan Ibu
Semesta ini keberadaannya dipahami sebagai kenyataan dari kancah seluruh
kejadian di alam semesta dengan segala perubahannya yang bersifat material.
Dalam
hidup manusia, kenyataan Ibu semesta ini memiliki makna sangat luas dan
mendasar bagi kehidupan kuwadagan
(fisik) manusia yang lair di bumi. Secara umum raga wadag manusia lahir di bumi
dan akan kembali ke bumi. Oleh karenanya Ibu semesta ini sering kali
distilahkan dengan Ibu Bumi. Yaitu seluruh kenyataan yang menjadi asal mula dan
membentuk kehidupan material (kuwadagan) dan akan menjadi akhir kehidupan kuwadagan.
Dengan kata lain Ibu Bumi adalah “sangkan
paraning dumadi kuwadagan”. Atau kenyataan asal mula dan akhir kehidupan material
termasuk bagi kehidupan kuwadagan manusia di Bumi.
Bapa
Semesta adalah kenyataan alam semesta sebagai isi dari segala benih (wiji)
penjelmaan/pangejowantah (titis) yang bersifat rohaniah/ kasuksman (suwung).
Sebagai
Isi-Wiji- Titis-Suwung, kenyataan
Bapa Semesta ini keberadaannya dipahami
sebagai kenyataan dari segala sesuatu yang tidak terbatas (awang), bersifat
Immaterial/ Rohaniah/ kasuskman (Uwung) namun
mengisi dan menjadi asal mula dan akhir
penjelmaan / mangejowantah dari segala bentuk yang ada di alam semesta. Kenyataan yang luas tak terbatas tapi
meliputi segala sesuatu yang ada ini berikutnya dipahami sebagai gambaran bagai
Angkasa Raya (Awang Uwung). Sehingga
berikutnya Bapa Semesta ini diistilahkan sebagai Bapa Angkasa. Sebuah kenyataan
yang menjadi asal mula dan akhir dari penjelmaan rohani. Atau “sangkan paraning dumadi kasukman ”.
Secara
umum, kehidupan dipahami sebagai sesuatu yang terlahir, bergerak, berubah,
tumbuh, berkembang, dan berbuah, berbiji. Seperti halnya kehidupan pada
tumbuhan, hewan dan manusia. Sehingga segala wujud kuwadagan baru bisa
dikatakan “hidup” bila bentuk wadag tersebut sudah mulai “berisi sesuatu” yang
memungkinkan terbentuknya kehidupan dengan ssegala keadaannya tersebut terjadi.
Dan sesuatu yang mengisi kuwadagan itu
bersifat Rohani.
Tanpa
adanya “Yang Rohani” kehidupan tidak terjadi. Artinya tidak ada kelahiran sebuah
kehidupan tanpa adanya “ Yang Rohani”. Dan sebaliknya, bila suatu bentuk wadag
sudah ditinggalkan oleh “Yang Rohani” maka bentuk wadag tersebut akan mati.
Sementara
ini kebanyakan kita mengklasifikasikan bahwa yang dimaksud Mahkluk hidup di
alam wadag ini adalah Manusia, Hewan, Tumbuhan. Sedang tanah, api, air, dan
udara bukan termasuk makhluk hidup. Keempat anasir alam tersebut hanyalah benda
mati penyusun jasad wadag alam semesta termasuk raga wadag manusia.
Namun
orang jawa memiliki pandangan yang unik tentang bentuk kehidupan dan konsep
kehidupan berkait dengan alam semesta. Bahwa gunung, samudera, bulan, bintang,
matahari, lembah, sungai dan beragam ekosistem alam wadag lainnya, semua
memiliki Roh juga sebagaimana manusia, hewan. dan tumbuhan. Sehingga beragam
ekosistem alam tersebut diterima sebagai sesuatu yang hidup, yang bisa diajak berkomunikasi, berdialog dan
bergaul sebagaimana manusia berhubungan dengan hewan dan tumbuhan. Hanya saja mungkin dalam bergaulnya menggunakan bahasa dan tata cara yang sesuai
dengan keadaannya masing-masing. Pola komunikasi dan bergaul bersama ekosistem
alam ini biasanya diungkapkan dalam beragam tradisi prosesi alam yang sangat
beragam bentuknya.
Masyarakat
Jawa dalam memahami hidup dan kehidupannya memiliki beragam pola ungkapan untuk
menyampaikan konsep hidupnya yang bersifat lahiriah maupun batiniah. Salah satu
ungkapan yang sering didapati di tengah
masyarakat Jawa adalah “ Ibu Bumi-Bapa Angkasa”.
Sejak
kapan dan siapa yang melahirkan ungkapan ini,-seperti kebanyakan ungakapan
hidup yang lainnya dalam tradisi jawa-, tidak pernah diketahui secara pasti
asal mulanya. Hanya saja ungkapan ini selalu hidup ditengah masyarakat lahir
secara turun temurun melalui tutur ‘gethok tular’ dalam masyarakat dari dahulu
hingga hari ini.
Dari
ungkapan “ Ibu Bumi-Bapa Angkasa” ini, biasanya dikaitkan dengan pemahaman
tentang asal mula kejadian manusia dan tujuan hidup manusia. Atau sering
dikenal dengan istilah Sangkan Paraning
Dumadi. Ini sebuah ungkapan sederhana namun bila diselami lebih jauh,
mengandung konsep yang sangat realistis dan makna mendalam yang menjelaskan
tentang asal mula hidup dan kehidupan manusia.
Seperti
diketahui dalam tradisi jawa, kesadaran akan hidup dan kehidupan sering kali
diungkapan dalam beragam bentuk simbolik untuk menyampakaikan suatu makna. Dan
simbol-simbol tersebut biasanya diambil dari kenyataan hidup sehari-hari
disekitarnya. Maka ketika hendak memaparkan tentang asal usul kejadian manusia,
lahirlah ungkapan simbolik berupa “ Ibu Bumi- Bapa Angkasa” ini.
Hal
ini berangkat dari kenyataan bahwa hadirnya manusia di alam dunia ini, berasal
dari Ibu dan Bapaknya. Dari anak kecil sampai orang dewasa semua dengan mudah
menerima kenyataan ini bahwa asal usulnya dari Ibu dan Bapaknya. Sebuah fakta
yang jelas, sederhana, nyata dan tidak terbantahkan.
Dengan
berkembangnya tingkat kedewasaan seseorang, kebutuhan akan pengetahuan asal
usulnya tentu juga ikut berkembang. Sehingga pemahaman tentang asal usulnya
yang berasal dari Ibu dan Bapaknya ini pun mengalami perkembangan dalam
pemaknaannya.
Dalam
perkembangannya manusia menyadari bahwa dirinya terdiri dari Jiwa dan Raga.
Maka mulailah muncul pertanyaan dari mana asal Jiwanya, dan dari mana asal
Raganya.
Dalam
konsep Jawa, berikutnya dijelaskan bahwa Raga manusia terbentuk dari
unsur-unsur alam material yaitu Udara, Api, Air, dan Tanah. Semua unsur materi
itu berasal dari Ibu yang pembentukannya terjadi ketika manusia itu ada didalam
kandungan. Sedang jiwa manusia berasal dari unsur yang bersifat immaterial yang
sering diungkapkan dengan istilah Roh/Nyawa/ Suksma yang bibitnya (wiji)
berasal dari Bapa.
Perpaduan
antara unsur material dan Immaterial dari Ibu dan Bapa inilah yang berikutnya
menjadi satu kesatuan tunggal membentuk hidup Manusia seutuhnya.
Dari
kenyataan tersebut diatas, maka peran Ibu yang menjadi asal unsure material
Ragawi manusia, dipahami sebagai sumber wadah. Sedang Bapa yang menjadi asal
unsur immaterial Rohani manusia,
dipahami sebagai sumber isi. Dengan adanya wadah dan isi inilah terbentuk Lahir
dan Batin Manusia. Dimana hal yang bersifat material adalah bentuk lahir
manusia, sedang hal yang bersifat immaterial adalah bentuk batin manusia.
Dalam
ungkapan lain dinyatakan bahwa Ibu adalah Lahan, sedang Bapa adalah Bibitnya.
Ini mengacu pada kehidupan keseharian masyarakat jawa pada masa lalu yang hidup
secara agraris. Dalam pola agraris ini orang jawa belajar dari lingkungannya
tentang hidup dan kehidupan dari tanam-tanaman. Dimana untuk hidupnya sebuah
tanaman dibutuhkan adanya Bibit dan Lahan.
Selanjutnya
pemaknaan akan jiwa dan raga tersebut mengalami pendalaman dan perluasan makna
lebih lanjut berupa kenyataan adanya Jagad kembar antara dunia kecil (jagad
cilik) dan dunia besarnya (jagad besar). Kalau dalam diri manusia terbentuk
karena adanya perpaduan dua unsur yang bersifat Immaterial dan Material, berupa
Rohani dan Jasmani, maka demikian pula segala bentuk yang ada di alam semesta
ini bisa terbentuk juga karena adanya perpaduan dua kenyatan tersebut. Sehingga
orang jawa meyakini bahwa seluruh bentuk yang ada di alam semesta ini selain
memiliki wujud wadagnya juga terdapat roh yang ada di dalamnya.
Untuk
itu mulai dikenal pengertian adanya Bapa Semesta dan Ibu Semesta yang
melahirkan seluruh jagad raya dan seisinya.
Pola
simbolisasi ini tentu bukan sebuah pemahaman dangkal berupa adanya sosok Bapa
dan Ibu yang berbentuk manusia yang melahirkan semesta. Tapi ini hanya sebuah
konsep simbolik personifikasi dari sebuah kenyataan untuk memudahkan manusia
memahaminya. Mengingat alam semesta dan seisinya adalah kenyataan Yang Maha
Besar dan manusia segala keterbatasannya
merasa tidak mampu menjangkau seutuhnya. Kenyataan tersebut sering diistilahkan
dengan ungakapan “tan kena kinaya ngapa”
yang tidak bisa dimisalkan dengan apapun juga.
Meski
sadar dengan keterbatasannya dan merasa tidak mampu menjangkau seutuhnya,
namun dorongan untuk memahami alam semesta
sebagai bagian kenyataan dari kehidupannya ini, tetap ada dalam diri manusia.
Hal menjadikan manusia berusaha mencari pola yang bisa mendekati untuk
memahaminya. Dari sanalah mulai muncul upaya simbolisasi untuk memudahkan
pemahaman dari sebuah kenyataan.
Bagi
orang jawa sesuatu akan lebih mudah dipahami bila kita mau tepa slira atau menempatkan diri sebagaimana keadaan dan kedudukan
dari sesuatu tersebut. Maka dengan
mengambil kenyataan yang berangkat dari
dirinya, yang terlahir Ibu dan Bapa, maka alam semesta pun dipahami secara tepa slira juga terbentuk dari Ibu
semesta dan Bapa semesta.
Ibu
semesta adalah kenyataan alam semesta sebagai kancah (wadah) dari sebuah bentuk
(Wujud) kehidupan yang bersifat Material (Wadag).
Sebagai
Wadah-Wujud-Wadag, kenyataan Ibu
Semesta ini keberadaannya dipahami sebagai kenyataan dari kancah seluruh
kejadian di alam semesta dengan segala perubahannya yang bersifat material.
Dalam
hidup manusia, kenyataan Ibu semesta ini memiliki makna sangat luas dan
mendasar bagi kehidupan kuwadagan
(fisik) manusia yang lair di bumi. Secara umum raga wadag manusia lahir di bumi
dan akan kembali ke bumi. Oleh karenanya Ibu semesta ini sering kali
distilahkan dengan Ibu Bumi. Yaitu seluruh kenyataan yang menjadi asal mula dan
membentuk kehidupan material (kuwadagan) dan akan menjadi akhir kehidupan kuwadagan.
Dengan kata lain Ibu Bumi adalah “sangkan
paraning dumadi kuwadagan”. Atau kenyataan asal mula dan akhir kehidupan material
termasuk bagi kehidupan kuwadagan manusia di Bumi.
Bapa
Semesta adalah kenyataan alam semesta sebagai isi dari segala benih (wiji)
penjelmaan/pangejowantah (titis) yang bersifat rohaniah/ kasuksman (suwung).
Sebagai
Isi-Wiji- Titis-Suwung, kenyataan
Bapa Semesta ini keberadaannya dipahami
sebagai kenyataan dari segala sesuatu yang tidak terbatas (awang), bersifat
Immaterial/ Rohaniah/ kasuskman (Uwung) namun
mengisi dan menjadi asal mula dan akhir
penjelmaan / mangejowantah dari segala bentuk yang ada di alam semesta. Kenyataan yang luas tak terbatas tapi
meliputi segala sesuatu yang ada ini berikutnya dipahami sebagai gambaran bagai
Angkasa Raya (Awang Uwung). Sehingga
berikutnya Bapa Semesta ini diistilahkan sebagai Bapa Angkasa. Sebuah kenyataan
yang menjadi asal mula dan akhir dari penjelmaan rohani. Atau “sangkan paraning dumadi kasukman ”.
Secara
umum, kehidupan dipahami sebagai sesuatu yang terlahir, bergerak, berubah,
tumbuh, berkembang, dan berbuah, berbiji. Seperti halnya kehidupan pada
tumbuhan, hewan dan manusia. Sehingga segala wujud kuwadagan baru bisa
dikatakan “hidup” bila bentuk wadag tersebut sudah mulai “berisi sesuatu” yang
memungkinkan terbentuknya kehidupan dengan ssegala keadaannya tersebut terjadi.
Dan sesuatu yang mengisi kuwadagan itu
bersifat Rohani.
Tanpa
adanya “Yang Rohani” kehidupan tidak terjadi. Artinya tidak ada kelahiran sebuah
kehidupan tanpa adanya “ Yang Rohani”. Dan sebaliknya, bila suatu bentuk wadag
sudah ditinggalkan oleh “Yang Rohani” maka bentuk wadag tersebut akan mati.
Sementara
ini kebanyakan kita mengklasifikasikan bahwa yang dimaksud Mahkluk hidup di
alam wadag ini adalah Manusia, Hewan, Tumbuhan. Sedang tanah, api, air, dan
udara bukan termasuk makhluk hidup. Keempat anasir alam tersebut hanyalah benda
mati penyusun jasad wadag alam semesta termasuk raga wadag manusia.
Namun
orang jawa memiliki pandangan yang unik tentang bentuk kehidupan dan konsep
kehidupan berkait dengan alam semesta. Bahwa gunung, samudera, bulan, bintang,
matahari, lembah, sungai dan beragam ekosistem alam wadag lainnya, semua
memiliki Roh juga sebagaimana manusia, hewan. dan tumbuhan. Sehingga beragam
ekosistem alam tersebut diterima sebagai sesuatu yang hidup, yang bisa diajak berkomunikasi, berdialog dan
bergaul sebagaimana manusia berhubungan dengan hewan dan tumbuhan. Hanya saja mungkin dalam bergaulnya menggunakan bahasa dan tata cara yang sesuai
dengan keadaannya masing-masing. Pola komunikasi dan bergaul bersama ekosistem
alam ini biasanya diungkapkan dalam beragam tradisi prosesi alam yang sangat
beragam bentuknya.
Dari satu jadilah semua & semua berawal dari satu.
BalasHapus