Minggu, 07 Agustus 2016

IBU BUMI- BAPA ANGKASA



Oleh : Mas Tiyo

Masyarakat Jawa dalam memahami hidup dan kehidupannya memiliki beragam pola ungkapan untuk menyampaikan konsep hidupnya yang bersifat lahiriah maupun batiniah. Salah satu ungkapan yang sering didapati di tengah masyarakat Jawa adalah “ Ibu Bumi-Bapa Angkasa”.

Sejak kapan dan siapa yang melahirkan ungkapan ini,-seperti kebanyakan ungakapan hidup yang lainnya dalam tradisi jawa-, tidak pernah diketahui secara pasti asal mulanya. Hanya saja ungkapan ini selalu hidup ditengah masyarakat lahir secara turun temurun melalui tutur ‘gethok tular’ dalam masyarakat dari dahulu hingga hari ini.

Dari ungkapan “ Ibu Bumi-Bapa Angkasa” ini, biasanya dikaitkan dengan pemahaman tentang asal mula kejadian manusia dan tujuan hidup manusia. Atau sering dikenal dengan istilah Sangkan Paraning Dumadi. Ini sebuah ungkapan sederhana namun bila diselami lebih jauh, mengandung konsep yang sangat realistis dan makna mendalam yang menjelaskan tentang asal mula hidup dan kehidupan manusia.

Seperti diketahui dalam tradisi jawa, kesadaran akan hidup dan kehidupan sering kali diungkapan dalam beragam bentuk simbolik untuk menyampakaikan suatu makna. Dan simbol-simbol tersebut biasanya diambil dari kenyataan hidup sehari-hari disekitarnya. Maka ketika hendak memaparkan tentang asal usul kejadian manusia, lahirlah ungkapan simbolik berupa “ Ibu Bumi- Bapa Angkasa” ini.

Hal ini berangkat dari kenyataan bahwa hadirnya manusia di alam dunia ini, berasal dari Ibu dan Bapaknya. Dari anak kecil sampai orang dewasa semua dengan mudah menerima kenyataan ini bahwa asal usulnya dari Ibu dan Bapaknya. Sebuah fakta yang jelas, sederhana, nyata dan tidak terbantahkan.

Dengan berkembangnya tingkat kedewasaan seseorang, kebutuhan akan pengetahuan asal usulnya tentu juga ikut berkembang. Sehingga pemahaman tentang asal usulnya yang berasal dari Ibu dan Bapaknya ini pun mengalami perkembangan dalam pemaknaannya.

Dalam perkembangannya manusia menyadari bahwa dirinya terdiri dari Jiwa dan Raga. Maka mulailah muncul pertanyaan dari mana asal Jiwanya, dan dari mana asal Raganya.

Dalam konsep Jawa, berikutnya dijelaskan bahwa Raga manusia terbentuk dari unsur-unsur alam material yaitu Udara, Api, Air, dan Tanah. Semua unsur materi itu berasal dari Ibu yang pembentukannya terjadi ketika manusia itu ada didalam kandungan. Sedang jiwa manusia berasal dari unsur yang bersifat immaterial yang sering diungkapkan dengan istilah Roh/Nyawa/ Suksma yang bibitnya (wiji) berasal dari Bapa.

Perpaduan antara unsur material dan Immaterial dari Ibu dan Bapa inilah yang berikutnya menjadi satu kesatuan tunggal membentuk hidup Manusia seutuhnya.

Dari kenyataan tersebut diatas, maka peran Ibu yang menjadi asal unsure material Ragawi manusia, dipahami sebagai sumber wadah. Sedang Bapa yang menjadi asal unsur  immaterial Rohani manusia, dipahami sebagai sumber isi. Dengan adanya wadah dan isi inilah terbentuk Lahir dan Batin Manusia. Dimana hal yang bersifat material adalah bentuk lahir manusia, sedang hal yang bersifat immaterial adalah bentuk batin manusia.

Dalam ungkapan lain dinyatakan bahwa Ibu adalah Lahan, sedang Bapa adalah Bibitnya. Ini mengacu pada kehidupan keseharian masyarakat jawa pada masa lalu yang hidup secara agraris. Dalam pola agraris ini orang jawa belajar dari lingkungannya tentang hidup dan kehidupan dari tanam-tanaman. Dimana untuk hidupnya sebuah tanaman dibutuhkan adanya Bibit dan Lahan.

Selanjutnya pemaknaan akan jiwa dan raga tersebut mengalami pendalaman dan perluasan makna lebih lanjut berupa kenyataan adanya Jagad kembar antara dunia kecil (jagad cilik) dan dunia besarnya (jagad besar). Kalau dalam diri manusia terbentuk karena adanya perpaduan dua unsur yang bersifat Immaterial dan Material, berupa Rohani dan Jasmani, maka demikian pula segala bentuk yang ada di alam semesta ini bisa terbentuk juga karena adanya  perpaduan dua kenyatan tersebut. Sehingga orang jawa meyakini bahwa seluruh bentuk yang ada di alam semesta ini selain memiliki wujud wadagnya juga terdapat roh yang ada di dalamnya.

Untuk itu mulai dikenal pengertian adanya Bapa Semesta dan Ibu Semesta yang melahirkan seluruh jagad raya dan seisinya.

Pola simbolisasi ini tentu bukan sebuah pemahaman dangkal berupa adanya sosok Bapa dan Ibu yang berbentuk manusia yang melahirkan semesta. Tapi ini hanya sebuah konsep simbolik personifikasi dari sebuah kenyataan untuk memudahkan manusia memahaminya. Mengingat alam semesta dan seisinya adalah kenyataan Yang Maha Besar  dan manusia segala keterbatasannya merasa tidak mampu menjangkau seutuhnya. Kenyataan tersebut sering diistilahkan dengan ungakapan “tan kena kinaya ngapa” yang tidak bisa dimisalkan dengan apapun juga.

Meski sadar dengan keterbatasannya dan merasa tidak mampu menjangkau seutuhnya, namun  dorongan untuk memahami alam semesta sebagai bagian kenyataan dari kehidupannya ini, tetap ada dalam diri manusia. Hal menjadikan manusia berusaha mencari pola yang bisa mendekati untuk memahaminya. Dari sanalah mulai muncul upaya simbolisasi untuk memudahkan pemahaman dari sebuah kenyataan.

Bagi orang jawa sesuatu akan lebih mudah dipahami bila kita mau tepa slira atau menempatkan diri sebagaimana keadaan dan kedudukan dari sesuatu tersebut. Maka  dengan mengambil kenyataan yang  berangkat dari dirinya, yang terlahir Ibu dan Bapa, maka alam semesta pun dipahami secara tepa slira juga terbentuk dari Ibu semesta dan Bapa semesta.

Ibu semesta adalah kenyataan alam semesta sebagai kancah (wadah) dari sebuah bentuk (Wujud) kehidupan yang bersifat Material (Wadag).

Sebagai Wadah-Wujud-Wadag, kenyataan Ibu Semesta ini keberadaannya dipahami sebagai kenyataan dari kancah seluruh kejadian di alam semesta dengan segala perubahannya yang bersifat material.

Dalam hidup manusia, kenyataan Ibu semesta ini memiliki makna sangat luas dan mendasar  bagi kehidupan kuwadagan (fisik) manusia yang lair di bumi. Secara umum raga wadag manusia lahir di bumi dan akan kembali ke bumi. Oleh karenanya Ibu semesta ini sering kali distilahkan dengan Ibu Bumi. Yaitu seluruh kenyataan yang menjadi asal mula dan membentuk kehidupan material (kuwadagan) dan akan menjadi akhir kehidupan kuwadagan. Dengan kata lain Ibu Bumi adalah “sangkan paraning dumadi kuwadagan”. Atau kenyataan asal mula dan akhir kehidupan material termasuk bagi kehidupan kuwadagan manusia di Bumi.

Bapa Semesta adalah kenyataan alam semesta sebagai isi dari segala benih (wiji) penjelmaan/pangejowantah (titis) yang bersifat rohaniah/ kasuksman (suwung).

Sebagai Isi-Wiji- Titis-Suwung, kenyataan Bapa Semesta ini keberadaannya  dipahami sebagai kenyataan dari segala sesuatu yang tidak terbatas (awang), bersifat Immaterial/ Rohaniah/ kasuskman (Uwung)  namun mengisi dan menjadi asal mula dan akhir  penjelmaan / mangejowantah dari segala bentuk yang ada di alam semesta.  Kenyataan yang luas tak terbatas tapi meliputi segala sesuatu yang ada ini berikutnya dipahami sebagai gambaran bagai Angkasa Raya (Awang Uwung). Sehingga berikutnya Bapa Semesta ini diistilahkan sebagai Bapa Angkasa. Sebuah kenyataan yang menjadi asal mula dan akhir dari penjelmaan rohani. Atau “sangkan paraning dumadi kasukman ”.

Secara umum, kehidupan dipahami sebagai sesuatu yang terlahir, bergerak, berubah, tumbuh, berkembang, dan berbuah, berbiji. Seperti halnya kehidupan pada tumbuhan, hewan dan manusia. Sehingga segala wujud kuwadagan baru bisa dikatakan “hidup” bila bentuk wadag tersebut sudah mulai “berisi sesuatu” yang memungkinkan terbentuknya kehidupan dengan ssegala keadaannya tersebut terjadi. Dan sesuatu  yang mengisi kuwadagan itu bersifat Rohani.

Tanpa adanya “Yang Rohani” kehidupan tidak terjadi. Artinya tidak ada kelahiran sebuah kehidupan tanpa adanya “ Yang Rohani”. Dan sebaliknya, bila suatu bentuk wadag sudah ditinggalkan oleh “Yang Rohani” maka bentuk wadag tersebut akan mati.

Sementara ini kebanyakan kita mengklasifikasikan bahwa yang dimaksud Mahkluk hidup di alam wadag ini adalah Manusia, Hewan, Tumbuhan. Sedang tanah, api, air, dan udara bukan termasuk makhluk hidup. Keempat anasir alam tersebut hanyalah benda mati penyusun jasad wadag alam semesta termasuk raga wadag manusia.

Namun orang jawa memiliki pandangan yang unik tentang bentuk kehidupan dan konsep kehidupan berkait dengan alam semesta. Bahwa gunung, samudera, bulan, bintang, matahari, lembah, sungai dan beragam ekosistem alam wadag lainnya, semua memiliki Roh juga sebagaimana manusia, hewan. dan tumbuhan. Sehingga beragam ekosistem alam tersebut diterima sebagai sesuatu yang hidup,  yang bisa diajak berkomunikasi, berdialog dan bergaul sebagaimana manusia berhubungan dengan hewan dan tumbuhan.  Hanya saja mungkin dalam bergaulnya  menggunakan bahasa dan tata cara yang sesuai dengan keadaannya masing-masing. Pola komunikasi dan bergaul bersama ekosistem alam ini biasanya diungkapkan dalam beragam tradisi prosesi alam yang sangat beragam bentuknya.





Masyarakat Jawa dalam memahami hidup dan kehidupannya memiliki beragam pola ungkapan untuk menyampaikan konsep hidupnya yang bersifat lahiriah maupun batiniah. Salah satu ungkapan yang sering didapati di tengah masyarakat Jawa adalah “ Ibu Bumi-Bapa Angkasa”.

Sejak kapan dan siapa yang melahirkan ungkapan ini,-seperti kebanyakan ungakapan hidup yang lainnya dalam tradisi jawa-, tidak pernah diketahui secara pasti asal mulanya. Hanya saja ungkapan ini selalu hidup ditengah masyarakat lahir secara turun temurun melalui tutur ‘gethok tular’ dalam masyarakat dari dahulu hingga hari ini.

Dari ungkapan “ Ibu Bumi-Bapa Angkasa” ini, biasanya dikaitkan dengan pemahaman tentang asal mula kejadian manusia dan tujuan hidup manusia. Atau sering dikenal dengan istilah Sangkan Paraning Dumadi. Ini sebuah ungkapan sederhana namun bila diselami lebih jauh, mengandung konsep yang sangat realistis dan makna mendalam yang menjelaskan tentang asal mula hidup dan kehidupan manusia.

Seperti diketahui dalam tradisi jawa, kesadaran akan hidup dan kehidupan sering kali diungkapan dalam beragam bentuk simbolik untuk menyampakaikan suatu makna. Dan simbol-simbol tersebut biasanya diambil dari kenyataan hidup sehari-hari disekitarnya. Maka ketika hendak memaparkan tentang asal usul kejadian manusia, lahirlah ungkapan simbolik berupa “ Ibu Bumi- Bapa Angkasa” ini.

Hal ini berangkat dari kenyataan bahwa hadirnya manusia di alam dunia ini, berasal dari Ibu dan Bapaknya. Dari anak kecil sampai orang dewasa semua dengan mudah menerima kenyataan ini bahwa asal usulnya dari Ibu dan Bapaknya. Sebuah fakta yang jelas, sederhana, nyata dan tidak terbantahkan.

Dengan berkembangnya tingkat kedewasaan seseorang, kebutuhan akan pengetahuan asal usulnya tentu juga ikut berkembang. Sehingga pemahaman tentang asal usulnya yang berasal dari Ibu dan Bapaknya ini pun mengalami perkembangan dalam pemaknaannya.

Dalam perkembangannya manusia menyadari bahwa dirinya terdiri dari Jiwa dan Raga. Maka mulailah muncul pertanyaan dari mana asal Jiwanya, dan dari mana asal Raganya.

Dalam konsep Jawa, berikutnya dijelaskan bahwa Raga manusia terbentuk dari unsur-unsur alam material yaitu Udara, Api, Air, dan Tanah. Semua unsur materi itu berasal dari Ibu yang pembentukannya terjadi ketika manusia itu ada didalam kandungan. Sedang jiwa manusia berasal dari unsur yang bersifat immaterial yang sering diungkapkan dengan istilah Roh/Nyawa/ Suksma yang bibitnya (wiji) berasal dari Bapa.

Perpaduan antara unsur material dan Immaterial dari Ibu dan Bapa inilah yang berikutnya menjadi satu kesatuan tunggal membentuk hidup Manusia seutuhnya.

Dari kenyataan tersebut diatas, maka peran Ibu yang menjadi asal unsure material Ragawi manusia, dipahami sebagai sumber wadah. Sedang Bapa yang menjadi asal unsur  immaterial Rohani manusia, dipahami sebagai sumber isi. Dengan adanya wadah dan isi inilah terbentuk Lahir dan Batin Manusia. Dimana hal yang bersifat material adalah bentuk lahir manusia, sedang hal yang bersifat immaterial adalah bentuk batin manusia.

Dalam ungkapan lain dinyatakan bahwa Ibu adalah Lahan, sedang Bapa adalah Bibitnya. Ini mengacu pada kehidupan keseharian masyarakat jawa pada masa lalu yang hidup secara agraris. Dalam pola agraris ini orang jawa belajar dari lingkungannya tentang hidup dan kehidupan dari tanam-tanaman. Dimana untuk hidupnya sebuah tanaman dibutuhkan adanya Bibit dan Lahan.

Selanjutnya pemaknaan akan jiwa dan raga tersebut mengalami pendalaman dan perluasan makna lebih lanjut berupa kenyataan adanya Jagad kembar antara dunia kecil (jagad cilik) dan dunia besarnya (jagad besar). Kalau dalam diri manusia terbentuk karena adanya perpaduan dua unsur yang bersifat Immaterial dan Material, berupa Rohani dan Jasmani, maka demikian pula segala bentuk yang ada di alam semesta ini bisa terbentuk juga karena adanya  perpaduan dua kenyatan tersebut. Sehingga orang jawa meyakini bahwa seluruh bentuk yang ada di alam semesta ini selain memiliki wujud wadagnya juga terdapat roh yang ada di dalamnya.

Untuk itu mulai dikenal pengertian adanya Bapa Semesta dan Ibu Semesta yang melahirkan seluruh jagad raya dan seisinya.

Pola simbolisasi ini tentu bukan sebuah pemahaman dangkal berupa adanya sosok Bapa dan Ibu yang berbentuk manusia yang melahirkan semesta. Tapi ini hanya sebuah konsep simbolik personifikasi dari sebuah kenyataan untuk memudahkan manusia memahaminya. Mengingat alam semesta dan seisinya adalah kenyataan Yang Maha Besar  dan manusia segala keterbatasannya merasa tidak mampu menjangkau seutuhnya. Kenyataan tersebut sering diistilahkan dengan ungakapan “tan kena kinaya ngapa” yang tidak bisa dimisalkan dengan apapun juga.

Meski sadar dengan keterbatasannya dan merasa tidak mampu menjangkau seutuhnya, namun  dorongan untuk memahami alam semesta sebagai bagian kenyataan dari kehidupannya ini, tetap ada dalam diri manusia. Hal menjadikan manusia berusaha mencari pola yang bisa mendekati untuk memahaminya. Dari sanalah mulai muncul upaya simbolisasi untuk memudahkan pemahaman dari sebuah kenyataan.

Bagi orang jawa sesuatu akan lebih mudah dipahami bila kita mau tepa slira atau menempatkan diri sebagaimana keadaan dan kedudukan dari sesuatu tersebut. Maka  dengan mengambil kenyataan yang  berangkat dari dirinya, yang terlahir Ibu dan Bapa, maka alam semesta pun dipahami secara tepa slira juga terbentuk dari Ibu semesta dan Bapa semesta.

Ibu semesta adalah kenyataan alam semesta sebagai kancah (wadah) dari sebuah bentuk (Wujud) kehidupan yang bersifat Material (Wadag).

Sebagai Wadah-Wujud-Wadag, kenyataan Ibu Semesta ini keberadaannya dipahami sebagai kenyataan dari kancah seluruh kejadian di alam semesta dengan segala perubahannya yang bersifat material.

Dalam hidup manusia, kenyataan Ibu semesta ini memiliki makna sangat luas dan mendasar  bagi kehidupan kuwadagan (fisik) manusia yang lair di bumi. Secara umum raga wadag manusia lahir di bumi dan akan kembali ke bumi. Oleh karenanya Ibu semesta ini sering kali distilahkan dengan Ibu Bumi. Yaitu seluruh kenyataan yang menjadi asal mula dan membentuk kehidupan material (kuwadagan) dan akan menjadi akhir kehidupan kuwadagan. Dengan kata lain Ibu Bumi adalah “sangkan paraning dumadi kuwadagan”. Atau kenyataan asal mula dan akhir kehidupan material termasuk bagi kehidupan kuwadagan manusia di Bumi.

Bapa Semesta adalah kenyataan alam semesta sebagai isi dari segala benih (wiji) penjelmaan/pangejowantah (titis) yang bersifat rohaniah/ kasuksman (suwung).

Sebagai Isi-Wiji- Titis-Suwung, kenyataan Bapa Semesta ini keberadaannya  dipahami sebagai kenyataan dari segala sesuatu yang tidak terbatas (awang), bersifat Immaterial/ Rohaniah/ kasuskman (Uwung)  namun mengisi dan menjadi asal mula dan akhir  penjelmaan / mangejowantah dari segala bentuk yang ada di alam semesta.  Kenyataan yang luas tak terbatas tapi meliputi segala sesuatu yang ada ini berikutnya dipahami sebagai gambaran bagai Angkasa Raya (Awang Uwung). Sehingga berikutnya Bapa Semesta ini diistilahkan sebagai Bapa Angkasa. Sebuah kenyataan yang menjadi asal mula dan akhir dari penjelmaan rohani. Atau “sangkan paraning dumadi kasukman ”.

Secara umum, kehidupan dipahami sebagai sesuatu yang terlahir, bergerak, berubah, tumbuh, berkembang, dan berbuah, berbiji. Seperti halnya kehidupan pada tumbuhan, hewan dan manusia. Sehingga segala wujud kuwadagan baru bisa dikatakan “hidup” bila bentuk wadag tersebut sudah mulai “berisi sesuatu” yang memungkinkan terbentuknya kehidupan dengan ssegala keadaannya tersebut terjadi. Dan sesuatu  yang mengisi kuwadagan itu bersifat Rohani.

Tanpa adanya “Yang Rohani” kehidupan tidak terjadi. Artinya tidak ada kelahiran sebuah kehidupan tanpa adanya “ Yang Rohani”. Dan sebaliknya, bila suatu bentuk wadag sudah ditinggalkan oleh “Yang Rohani” maka bentuk wadag tersebut akan mati.

Sementara ini kebanyakan kita mengklasifikasikan bahwa yang dimaksud Mahkluk hidup di alam wadag ini adalah Manusia, Hewan, Tumbuhan. Sedang tanah, api, air, dan udara bukan termasuk makhluk hidup. Keempat anasir alam tersebut hanyalah benda mati penyusun jasad wadag alam semesta termasuk raga wadag manusia.

Namun orang jawa memiliki pandangan yang unik tentang bentuk kehidupan dan konsep kehidupan berkait dengan alam semesta. Bahwa gunung, samudera, bulan, bintang, matahari, lembah, sungai dan beragam ekosistem alam wadag lainnya, semua memiliki Roh juga sebagaimana manusia, hewan. dan tumbuhan. Sehingga beragam ekosistem alam tersebut diterima sebagai sesuatu yang hidup,  yang bisa diajak berkomunikasi, berdialog dan bergaul sebagaimana manusia berhubungan dengan hewan dan tumbuhan.  Hanya saja mungkin dalam bergaulnya  menggunakan bahasa dan tata cara yang sesuai dengan keadaannya masing-masing. Pola komunikasi dan bergaul bersama ekosistem alam ini biasanya diungkapkan dalam beragam tradisi prosesi alam yang sangat beragam bentuknya.




1 komentar: