Oleh :
Mas Tiyo
Mungkin pernah terlintas di pikiran
Kita, paling enak bekerja di dunia hiburan.
Setiap hari seperti liburan terus, bisa senang-senang, jalan-jalan, makan-makan, nyanyi-nyayi, kongkow-kongkow,
ngobrol sana-sini, dan semua dibayari.
Nah..! Yang terakhir ini yang paling
asyik. Tapi masalahnya siapa yang mau mbayari
?!
Namanya dunia hiburan, ya selalu mengasyikkan dan menghibur. Karena memang itulah
produk utamanya. Banyak orang rela melepas sejumlah biaya demi bisa menukar
suasana hari-hari yang penuh beban dan menjenuhkan, dengan suasana nyaman dan
menggembirakan. Kesempatan inilah yang dimanfaatkan oleh dunia hiburan untuk
mendulang uang.
Namun bagi pekerja di dunia hiburan
sendiri, hiburan adalah pekerjaan. Pekerjaan artinya tanggung jawab. Tanggung
jawab artinya kewajiban yang harus dijalankan. Kalau sesuatu wajib dijalankan
tiap hari, jadinya menjenuhkan. Kalau jenuh butuh hiburan.
Lha..! kalau gitu kemana para penghibur
ini harus liburan mencari hiburan ?
Pertanyaan diatas mungkin terkesan
konyol, mbuled dan nganyelke (membingungkan dan menjengkelkan). Namun fakta
menunjukkan banyak para pekerja di dunia hiburan mengalami stress, sampai
depresi dan gangguan kejiwaan lainnya. Sehingga banyak diantara mereka harus terjebak
dalam cengkraman berbagai jenis obat terlarang dan Minuman keras serta
berurusan dengan pihak berwajib.
Sebut saja para selebritis dunia,seperti
Lindsay Lohan, Lady Gaga, Jhonny Deep, George Clooney dan sederetan artis
lainnya yang akrab dengan Narkoba dan minuman keras. Hal itu dilakukan demi menyangga kesuksesan karier mereka di
dunia Hiburan. Bahkan konon Whitney Houston sampai akhir hayatnya tidak bisa
lepas dari Narkoba. (info dari berjambang.blogspot.com ).
Sebuah ironi kehidupan. Penghibur yang
tidak terhibur, seperti ayam mati dalam Lumbung yang penuh Padi.
Seperti halnya makanan untuk konsumsi
kebutuhan fisik kita, Hiburan adalah konsumsi batin manusia. Dalam upaya
pemenuhannya perlu keterkaitan pihak lain untuk membentuk jaringan kehidupan
dan berputar sebagai siklus penghidupan.
Meski lezat dan tersedia setiap saat,
tidak mungkin tukang sate, setiap hari memberi makan sate untuk seluruh keluarganya.
Bisa bludrek satu keluarga, gara-gara kebanyakan makan daging
kambing. Atau jualannya bisa merugi kalau kebanyakan dimakan sendiri.
Demikian pula para pekerja Hiburan.
Beragam sajian yang ditampilkannya, dalam keadaan tertentu tidak bisa
dinikmatinya sendiri.
Seperti pengakuan Ruth Sahanaya dalam
salah satu kesempatan, ketika lagunya “Kaulah Segala Bagiku” meledak di pasaran,
setiap pentas banyak penonton yang memintanya menyanyikan lagu tersebut. Bagi
Ruth, mungkin pada awalnya mengasyikkan, karena lagunya digemari banyak orang.
Ketika di Panggung, Dia menyanyi dengan penuh semangat dan bisa menikmatinya.
Tapi lama-lama, kalau setiap pentas, lagu itu terus yang harus dinyanyikan,
tentu ada jenuhnya juga. Padahal kalau sedang booming, dalam sehari seorang
Artis bisa beberapa kali tampil di atas panggung. Bisa sampai eneg, dan blokekan
(mau muntah) rasanya menyanyikan lagu itu terus menerus.
Hal demikian ini mungkin juga dialami
oleh para artis lainnya yang sempat karyanya Booming di pasaran. Walau mungkin dirinya sudah
sampai puncak jenuh dan muak melakukannya, tapi konsekwensi sebagai artis, mengharuskan
dirinya mengutamakan keinginan penonton daripada keinginannya sendiri.
Belum lagi masalah dalam mempertahankan
puncak ketenarannya. Dihadapkan dengan para pendatang baru, kompetisi untuk
merebut perhatian publik tidak mungkin terelakkan. Benturan berbagai
kepentingan dalam industri hiburan inilah yang sering menjadikan seorang artis
mengalami stres dan depresi berat di saat mencapai puncak kejayaannya.
Sehingga banyak yang mencari jalan
pintas untuk mengatasi masalah dengan mengkonsumsi obat anti depresi, obat
tidur, atau obat-obatan psikotropika, minuman keras, diskotik, free sex dan
hal-hal negatif lainnya.
Tapi banyak juga Artis yang
menggunakan cara lain yang lebih positif untuk mengatasi tekanan dalam
kehidupan keartisannya. Diantaranya adalah terjun kedunia kerohanian. Seperti
yang sudah dilakukan oleh Richard Gere yang berasyik masyuk dengan
kebudhaannya. Madona dengan Kabbalahnya, Gito Rolies dengan Islamannya.
Secaran umum dipahami bahwa dunia kerohanian
adalah ruang positif untuk mencari solusi masalah batin. Maka wajar bila para
Artis –sebagai pekerja pemuas batin – namun merasa tidak menemukan kepuasan
dari lingkungannya, mau memasuki dunia kerohanian untuk menemukan kepuasan
batinnya.
Namun dalam beberapa keadaannya, antara dunia hiburan dan dunia Rohani
terdapat pandangan sbb. :
1. Dunia rohani sama dengan dunia hiburan, keduanya mampu memberi kepuasan batin, hanya saja dari sisi yang berbeda.
2. Ada juga yang mencoba mengalkulturasikan Dunia Rohani dan Dunia Hiburan.
3. Dunia Rohani mampu memberikan kepuasan batin lebih dalam daripada dunia hiburan.
1. Dunia rohani sama dengan dunia hiburan, keduanya mampu memberi kepuasan batin, hanya saja dari sisi yang berbeda.
2. Ada juga yang mencoba mengalkulturasikan Dunia Rohani dan Dunia Hiburan.
3. Dunia Rohani mampu memberikan kepuasan batin lebih dalam daripada dunia hiburan.
Add. 1.
Untuk orang yang berpandangan Dunia Rohani sama dengan Dunia Hiburan,
dia menempatkan Dunia Rohani sama halnya dunia Hiburan yang mampu mendatangkan beragam
sensasi yang mampu menghibur seseorang.
Dunia Rohani bisa menghadirkan beragam
sensasi yang mampu melenyapkan segala kepedihan, kekecewaan, ketakutan, dan
segala kegundahan di hati seperti halnya dunia hiburan. Hal ini biasanya akan menjadikan
dunia Rohani sebagai tempat pelarian, manakala dunia tempatnya bergulat dengan
kehidupan, terasa mengecewakan, sedih dan menyakitkan baginya.
Seperti halnya tempat wisata, Dunia Rohani
bisa menjadi tempat wisata batin dengan beragam sensasinya bagi orang-orang
tertentu. Tapi namanya wisata, artinya keberadaan seorang wisatawan disana, tentu hanya sementara. Seorang Wisatawan tidak akan
menetap atau mengembangkan diri ditempat tersebut.
Dalam pandangan ini dunia Rohani hanya
sekedar tempat melepas lelah, mencari suasana baru, menghirup udara dari dunia rohani yang
segar. Setelah dirasa cukup menemukan kenyamanan, ketentraman, dan kekuatan
batin, kembali dirinya ke tempat asalnya. Dan dunia rohani ditinggalkan kembali
seperti semula, hanya menyisakan kenangan sesaat di dalam batinnya. Kapan-kapan
bila ada waktu dan kebutuhan mungkin akan dikunjunginya lagi. Bila sempat !
Add. 2.
Pandangan tentang akulturasi Dunia Rohani dan Dunia Hiburan, bisa mengarah dalam dua
keadaan. Dunia Rohani kehilangan makna sehingga tinggal menjadi kancah mencari
sensasi hiburan semata. Atau Dunia Rohani semakin kuat eksistensi dan maknanya,
karena disajikan secara menghibur sehingga disukai oleh banyak orang.
Dunia Rohani akan cenderung kehilangan
makna, manakala tujuan utamanya sudah berubah tidak menuju Rohani. Hal Ini
sebenarnya hampir mirip dengan pandangan no 1 diatas. Kalau diatas orang hanya
berwisata ke dunia Rohani untuk mencari sensasi rohani. Sedang pada keadaan
ini, orang bukak lapak hiburan di dunia Rohani. Artinya tujuan utama dari
keadaan ini bukan Rohani tapi lebih ke
arah komersialisasi dunia hiburan, hanya saja menggunakan konten yang berwarna
rohani.
Sedang arah menuju Rohani yang lebih
kuat, manakala menempatakan hiburan sebagai
nilai tambah untuk memberi warna yang lebih menarikdari beragam sajian subtansi
Rohaniah.
Seperti kita tahu dunia rohani,
cenderung bersifat Substantif, esensial, maknawiah, filosofis yang kadang butuh
pemikiran yang kuat, mendalam dan kompleks, terkesan serius dan sangat tidak
mengasyikkan. Hal ini menyebabkan Dunia Rohani hanya digemari oleh segelintir kalangan
tertentu saja. Bahkan cenderung diidentikkan hanya untuk orang-orang yang sudah
lanjut usia, karena menjelang menghadapi liang kubur.
Maka dengan adanya sentuhan yang
bersifat menghibur, bisa memberi warna dunia Rohani lebih beragam dan menarik,
tapi tidak berlebihan. Sehingga bisa menarik bukan hanya orang-orang tua tapi
juga mengena pada spektrum usia yang lebih luas dari anak-anak muda dan beragam
kalangan.
Add. 3
Dunia Rohani mampu memberikan kepuasan
batin lebih dalam daripada dunia hiburan. Disini orang berpandangan
bahwa dunia Rohani memiliki dimensi yang lebih mendalam daripada dunia hiburan.
Dimana, pada dunia hiburan, kepuasan batin seseorang lebih berakar dari sesuatu
yang bersifat sensasi inderawi. Sedang indera manusia cenderung mudah
dimanipulasi dengan berbagai cara rekayasa. Sehinggga kepuasan yang di dapat
pun juga bisa berupa kepuasan yang bersifat manipulatif inderawi.
Seperti waktu kita kecil pernah bermain
di atas jembatan sebuah sungai yang mengalir deras. Bila kita tersebut
terus-menerus menatap aliran sungai, bisa dirasakan sensasi seolah-olah diri
kita yang diatas jembatan sedang berjalan.
Ini merupakan hiburan tersendiri waktu
kita kecil. Prinsip ini berikutnya dikembangkan menjadi sebuah Wahana Hiburan 3
Dimensi di Dunia Fantasi.
Kepuasan sensasional sepeti diatas
tentu saja hanya bersifat semu, hanya permukaan dan tidak mengakar di dalam
batin seseorang. Oleh karenanya dunia hiburan yang mengedepankan sensasi ini cenderung
bersifat sesaat dan populer. Mudah hilang sejalan berganti dengan sensasi baru
yang datang.
Sedang di dalam Dunia Rohani, tujuan
utama adalah menggali substansi atau esensi dari suatu keadaan yang menjadi
inti sari dan akar dari kenyataan hidup itu sendiri. Dan ketika seseorang mampu
menemukan intisari Hidupnya tersebut, dari sana akan bisa tumbuh berkembang banyak ragam kehidupan yang bermanfaat dalam
hidupnya. Maka sensasi kepuasan yang didapatnya terasa jauh lebih mendalam, dan
lebih meluas daripada hanya sekedar kepuasan sensasi inderawi sesaat.
Kepuasan seseorang bersifat esensial
dalam Dunia Rohani ini, kalau diibaratkan dengan wisata seperti diatas, dia
bukan hanya sekedar pengunjung tempat wisata, yang aksesnya terbatas hanya
sekedar menikmati sensasi saat kunjungan dengan sejumlah biaya yang harus
dikeluarkan, lalu kembali ke tempat asalnya. Dia juga bukan seseorang yang
membuka lapak di tempat wisata tersebut untuk menjajakan produk rohaniah. Tapi
dia adalah pemilik tempat wisata itu sendiri. Karena dia mampu menciptakan dan
merintis tempat wisata tersebut secara mandiri. Setelah melewati perjalanan
panjang mencari lokasi dan memanfaatkan serta mengelola sumber daya yang ada
ditempat tersebut. Sehingga tempat tersebut bisa dinikmati oleh banyak orang.
Termasuk para pedagang yang sewa lapak di tempat wisata miliknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar