Oleh : Mas Tiyo
Setiap
manusia punya masalah. Tidak ada satu pun manusia hidup tanpa masalah. Banyak
ragam keadaan manusia ketika menghadapi masalah. Ada menjadi bingung kehilangan
arah, ada yang malu dan serba salah, ada yang jengkel dan mudah marah. Sehingga
masalah dipandang sebagai beban hidup yang harus segera musnah.
Tapi
tidak sedikit pula orang yang berpandangan, masalah adalah ujian, tantangan,
dan cobaan untuk meningkatakan kapasitas
dan kualitas diri dari sebuah kedudukan (maqom) menuju level maqom berikutnya
dalam kehidupan. Sehingga dia tabah menjalani hidupnya yang bermasalah, dengan
mempelajari kemampuan diri untuk mampu
menghadapi dan mengatasinya.
Adanya
ragam keadaan tersebut, tidak terlepas dari “cara pandang” seseorang atas
dirinya dan masalah yang dihadapinya. Seperti orang dengan kacamata hitam, maka
semua dilihatnya akan selalu berwarna hitam. Ketika orang berkacamata kuning,
maka semua yang dilihatnya akan berwarna kuning semua. Lebih parah lagi bila
orang “tidak mampu memandang”, maka segala sesuatu yang sudah pada tempatnya
pun tidak nampak baginya. Sehingga bisa salah dalam menyimpulkan suatu keadaan
yang dianggapnya bermasalah.
Demikian
pentingnya tentang “cara pandang” ini. Mengingat ini titik awal kita merespon
segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan kita. Bermula dari “cara
pandang” inilah berikutnya
berturut-turut akan membentuk pemahaman, keputusan, sikap dan tindakan yang
nantinya akan membentuk garis kehidupan kita.
Bukankah
sebuah garis dibentuk dari titik-titik?
Bila
dari titik awalnya sudah menyimpang, maka bila diikuti kelanjutannya akan
semakin jauh menyimpang. Sebaliknya bila titik awalnya sudah benar, maka ketika
diikuti dan dipertahankan, semakin jauh bisa diharapkan akan tetap berada di
dalam kebenaran.
Oleh
karenanya “ Cara Pandang “ ini perlu dipahami. Karena dari cara pandang yang
benar akan membentuk garis hidup yang benar. Dari cara pandang yang salah akan
membentuk garis hidup yang salah.
Berkait
dengan “Cara Pandang” ini, kita tidak bisa berlepas dari Mata yang berfungsi
untuk memandang. Untuk mampu memandang hal-hal yang bersifat fisik, kita membutuhkan
fungsi mata fisik atau mata kepala. Sehingga bila mata kita mengalami gangguan
atau kerusakan kita akan bermasalah dengan hal-hal yang bersifat fisik. Dalam
dunia kedokteran, hal ini sudah dibahas secara panjang lebar, yang melahirkan
ilmu kesehatan mata (Opthalmologi).
Bagaimana
dengan masalah kehidupan lainya yang lebih kompleks, seperti masalah ekonomi,
sosial, budaya, politik, agama dan lain sebagainya ?
Disini
cara pandang dengan “Mata lain” menjadi
relevan untuk dibahas dalam munghadapi masalah
kehidupan yang multikompleks tersebut. Mengingat dua bola mata kepala kita
tidak akan memadai untuk menjangkau masalah yang bersifat konseptual tersebut. Sehingga
“Mata lain” yang digunakan ini, dalam fungsi memandang, lebih bersifat maknawi,
bukan dalam arti fungsi pengelihatan secara fisik saja.
Sebagai
misal, masalah harga daging sapi yang naik menjelang lebaran. Ini merupakan
masalah ekonomi. Masalah ini tentu memiliki rangkaian panjang dari berbagai
aspek yang mungkin menjadi penyebabnya. Dari proses pengadaan, pendistribusian,
minat, daya beli, dan kebutuhan masyarakat,
nilai tukar mata uang, dsb. Belum lagi bila masalah ini dipolitisasi
untuk menggoncang Pemerintah dari sisi ekonomi. Supaya terjadi kekacauan yang
berdampak secara sosial politik berupa pergantian rezim kekuasaan di sebuah
negara. Tidak mungkin semua kompleksitas itu bisa “dilihat” hanya oleh mata
kepala kita dengan sekedar memelototi seonggok daging yang digantung disebuah
lapak pedagang di pasar. Kita membutuhkan “mata lainya” supaya mampu memandang
masalah komplek itu dengan seutuhnya.
Berangkat
dari sini, mungkin mulai dibutuhkan adanya “Mata ketiga”. Sebuah “Mata” yang
mampu memandang masalah dari berbagai dimensi dengan segenap kompleksitas yang
ada.
Berbicara
cara memandang secara multidimensi dengan “Mata Ketiga“, mungkin kita
beranggapan bahwa ini tentu berhubungan dengan sebuah kemampuan pengelihatan
Gaib. Dimana dengan mata goib ini kita mampu melihat sosok mahkluk yang ada di
dimensi lain diluar dimensi fisik ini. Mungkin ini ada benarnya juga, mengingat
pengertian Goib sendiri berarti “tersembunyi”.
Dan
dalam kenyataannya banyak berbagai permasalah kehidupan yang komplek seperti
ekonomi, sosial, politik, budaya, dan lain-lainnya itu bisa dikatakan bersifat
goib atau tersembunyi. Karena tidak semua hal dalam masalah tersebut mampu
dilihat dengan mata kepala secara fisik wujudnya.
Seperti
misal masalah langkanya BBM di pasaran. Mungkin secara fisik yang mampu kita lihat adalah panjangnya antrian kendaraan di
pom bensin. Atau seorang ibu-ibu yang berantem dengan penjual sayur
langganannya, karena menaikkan harga secara sepihak, dengan alasan biaya
transport naik. Mungkin secara fisik ibu tadi masih bisa melihat ada bensin di
dalam tanki motor si tukang sayur. Tapi bagaimana nilai ekonomis dari bensin
tersebut, si ibu tadi sudah tidak tahu lagi persisnya manakala terjadi
perubahan harga BBM.
Disini
jelas banyak hal goib yang terjadi dibalik apa yang bisa kita lihat dengan mata
kepala. Tapi mata kepala kita tidak bisa “melihat” secara persis apa yang
sesungguhnya terjadi. Banyak hal yang tersembunyi dibalik kehidupan fisik kita
ini.
Untuk
itu kita perlu membuka “Mata Ketiga”, supaya bisa memahami dengan lebih baik
apa yang sesungguhnya sedang terjadi dibalik setiap peristiwa. Karena seperti
sudah disinggung dimuka, kemampuan Mata kita sangat mempengaruhi Cara pandang
kita. Bila terjadi gangguan, atau kerusakan pada mata, maka akan mempengaruhi
cara pandang, keputusan, sikap dan tindakan kita atas suatu keadaan.
Upaya
pembukaan “Mata Ketiga” ini mungkin lebih banyak ditemukan di dunia spiritual.
Mengingat istilah “Mata Ketiga” ini banyak digunakan oleh para praktisi
spiritual yang berkecimpung dengan masalah multidimensi kehidupan manusia.
Namun
pada kenyataannya sebagai sebuah fakta, sesungguhnya setiap kita -entah sebagai
praktisi spiritual maupun bukan- sudah sering menggunakan “Mata Ketiga”. Karena apapun istilahnya, dari bahasa dan
budaya manapun asalnya, “Mata Ketiga” ini selalu dikaitkan dengan fungsi
kesadaran seseorang. Sedang pusat kesadaran manusia ada pada fikirannya. Jadi
peran, fungsi dan kedudukan “Mata ketiga” ini tentu berkait erat dengan fikiran
manusia. Dengan demikian kita semua sebenarnya sudah pernah menggunakan “ Mata Ketiga” sejak kita mampu
berfikir secara sadar.
Mungkin
“ Mata Ketiga” dipahami sebagai fungsi
pikiran ini, masih merupakan awal untuk memahami adanya “alat pandang” dalam
diri manusia yang tidak hanya berupa dua bola mata fisiknya. Dengan kata lain,
dalam diri manusia ada “Alat Pandang” lain selain mata kepala. Salah satunya
adalah Pikiran yang memiliki fungsi sebagai “ Alat Pandang” atau Indera
Pengelihatan halus manusia. Sehingga sering disebut dengan “mata ketiga.” Dan
ini merupakan salah satu bentuk fungsi “ MATA BATIN” manusia.
Seperti
halnya mata fisik (selanjutnya kita sebut dengan mata kepala), yang memiliki
keterbatasan dalam kemampuan pengelihatan, Mata Ketiga pun juga memiliki
keterbatasan untuk memandang realita kehidupan tertentu. Dimana - mesiki sudah
bersifat Batin dan mampu menembus batas ruang waktu secara fisik-, Mata ketiga,
pada kondisi tertentu tidak mampu lagi menjangkau hal-hal yang lebih komplek,
abstrak, halus, dan bersifat Immaterial seperti hal-hal yang berkaitan dengan
masalah kerohanian atau ketuhanan.
Untuk
realita bersifat Immaterial, Abstrak dan Tidak terbatas seperti masalah
Ketuhanan dan Kerohanian ini, manusia membutuhkan “alat Pengelihatan” yang
lebih canggih lagi. Dalam bahasa sehari-hari “alat Pengelihatan” Rohani ini
sering kita kenal dengan istilah “ Mata Hati”. Dimana fungsi dan kemampuan dari
Indera Mata Hati ini jauh lebih canggih dari Mata Ketiga.
Kalau
Mata Kepala butuh cahaya dari luar yang menerangi obyek untuk bisa melihat.
Mata ketiga pun juga butuh “cahaya” dari Luar untuk mampu memandang sebuah
fakta dan realita. Cahaya bagi mata kepala mungkin bisa bersumber dari
Matahari, bulan, lampu, obor dsb. Sedang Cahaya bagi Mata Ketiga bisa bersumber
dari Ilmu Pengetahuan, data-data lapangan, dan beragam informasi dari luar
dirinya yang ditangkap dengan Panca Indera. Baik dari Buku, TV, surat kabar, Internet,
medsos, dsb.
Sedang
Mata Hati, selain memiliki kemampuan “memandang” realita karena adanya cahaya
dari Luar, dari dalam keadaannya sendiri mampu menghasilkan Cahaya sebagai
sumber penerang, manakala cahaya dari luar tidak ditemukan. Oleh karenanya Mata
hati sering disebut juga dengan Hati Nurani. Nur artinya cahaya, Aini artinya mata. Atau Mata yang bercahaya.
Jadi
seperti halnya sebuah HP, kita mampu membaca tulisan dalam layar HP, bukan
semata-mata karena adanya cahaya dari Lampu, atau matahari yang ada di ruangan.
Tapi dari HP nya sendiri, memancarkan cahaya sehingga kita mampu membaca
tulisan di layarnya meskipun berada di ruang yang gelap.
Demikianlah,
manusia dilengkapi Peralatan Pengelihatan bertingkat-tingkat untuk menangkap
realita dalam kehidupannya yang bertingkat-tingkat pula dimensinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar