Senin, 01 Agustus 2016

MATA BATIN "Mata Ketiga – Mata Hati”



Oleh : Mas Tiyo



Setiap manusia punya masalah. Tidak ada satu pun manusia hidup tanpa masalah. Banyak ragam keadaan manusia ketika menghadapi masalah. Ada menjadi bingung kehilangan arah, ada yang malu dan serba salah, ada yang jengkel dan mudah marah. Sehingga masalah dipandang sebagai beban hidup yang harus segera musnah.

Tapi tidak sedikit pula orang yang berpandangan, masalah adalah ujian, tantangan, dan cobaan  untuk meningkatakan kapasitas dan kualitas diri dari sebuah kedudukan (maqom) menuju level maqom berikutnya dalam kehidupan. Sehingga dia tabah menjalani hidupnya yang bermasalah, dengan mempelajari kemampuan diri  untuk mampu menghadapi dan mengatasinya.

Adanya ragam keadaan tersebut, tidak terlepas dari “cara pandang” seseorang atas dirinya dan masalah yang dihadapinya. Seperti orang dengan kacamata hitam, maka semua dilihatnya akan selalu berwarna hitam. Ketika orang berkacamata kuning, maka semua yang dilihatnya akan berwarna kuning semua. Lebih parah lagi bila orang “tidak mampu memandang”, maka segala sesuatu yang sudah pada tempatnya pun tidak nampak baginya. Sehingga bisa salah dalam menyimpulkan suatu keadaan yang dianggapnya bermasalah.

Demikian pentingnya tentang “cara pandang” ini. Mengingat ini titik awal kita merespon segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan kita. Bermula dari “cara pandang”  inilah berikutnya berturut-turut akan membentuk pemahaman, keputusan, sikap dan tindakan yang nantinya akan membentuk garis kehidupan kita.

Bukankah sebuah garis dibentuk dari titik-titik?

Bila dari titik awalnya sudah menyimpang, maka bila diikuti kelanjutannya akan semakin jauh menyimpang. Sebaliknya bila titik awalnya sudah benar, maka ketika diikuti dan dipertahankan, semakin jauh bisa diharapkan akan tetap berada di dalam kebenaran.

Oleh karenanya “ Cara Pandang “ ini perlu dipahami. Karena dari cara pandang yang benar akan membentuk garis hidup yang benar. Dari cara pandang yang salah akan membentuk garis hidup yang salah.

Berkait dengan “Cara Pandang” ini, kita tidak bisa berlepas dari Mata yang berfungsi untuk memandang. Untuk mampu memandang hal-hal yang bersifat fisik, kita membutuhkan fungsi mata fisik atau mata kepala. Sehingga bila mata kita mengalami gangguan atau kerusakan kita akan bermasalah dengan hal-hal yang bersifat fisik. Dalam dunia kedokteran, hal ini sudah dibahas secara panjang lebar, yang melahirkan ilmu kesehatan mata (Opthalmologi).

Bagaimana dengan masalah kehidupan lainya yang lebih kompleks, seperti masalah ekonomi, sosial, budaya, politik, agama dan lain sebagainya ?

Disini cara pandang dengan  “Mata lain” menjadi relevan untuk  dibahas dalam munghadapi masalah kehidupan yang multikompleks tersebut. Mengingat dua bola mata kepala kita tidak akan memadai untuk menjangkau masalah yang bersifat konseptual tersebut. Sehingga “Mata lain” yang digunakan ini, dalam fungsi memandang, lebih bersifat maknawi, bukan dalam arti fungsi pengelihatan secara fisik saja.

Sebagai misal, masalah harga daging sapi yang naik menjelang lebaran. Ini merupakan masalah ekonomi. Masalah ini tentu memiliki rangkaian panjang dari berbagai aspek yang mungkin menjadi penyebabnya. Dari proses pengadaan, pendistribusian, minat, daya beli, dan kebutuhan masyarakat,  nilai tukar mata uang, dsb. Belum lagi bila masalah ini dipolitisasi untuk menggoncang Pemerintah dari sisi ekonomi. Supaya terjadi kekacauan yang berdampak secara sosial politik berupa pergantian rezim kekuasaan di sebuah negara. Tidak mungkin semua kompleksitas itu bisa “dilihat” hanya oleh mata kepala kita dengan sekedar memelototi seonggok daging yang digantung disebuah lapak pedagang di pasar. Kita membutuhkan “mata lainya” supaya mampu memandang masalah komplek itu dengan seutuhnya.

Berangkat dari sini, mungkin mulai dibutuhkan adanya “Mata ketiga”. Sebuah “Mata” yang mampu memandang masalah dari berbagai dimensi dengan segenap kompleksitas yang ada.

Berbicara cara memandang secara multidimensi dengan “Mata Ketiga“, mungkin kita beranggapan bahwa ini tentu berhubungan dengan sebuah kemampuan pengelihatan Gaib. Dimana dengan mata goib ini kita mampu melihat sosok mahkluk yang ada di dimensi lain diluar dimensi fisik ini. Mungkin ini ada benarnya juga, mengingat pengertian Goib sendiri berarti “tersembunyi”.

Dan dalam kenyataannya banyak berbagai permasalah kehidupan yang komplek seperti ekonomi, sosial, politik, budaya, dan lain-lainnya itu bisa dikatakan bersifat goib atau tersembunyi. Karena tidak semua hal dalam masalah tersebut mampu dilihat dengan mata kepala secara fisik wujudnya.

Seperti misal masalah langkanya BBM di pasaran. Mungkin secara fisik yang mampu kita  lihat adalah panjangnya antrian kendaraan di pom bensin. Atau seorang ibu-ibu yang berantem dengan penjual sayur langganannya, karena menaikkan harga secara sepihak, dengan alasan biaya transport naik. Mungkin secara fisik ibu tadi masih bisa melihat ada bensin di dalam tanki motor si tukang sayur. Tapi bagaimana nilai ekonomis dari bensin tersebut, si ibu tadi sudah tidak tahu lagi persisnya manakala terjadi perubahan harga BBM.

Disini jelas banyak hal goib yang terjadi dibalik apa yang bisa kita lihat dengan mata kepala. Tapi mata kepala kita tidak bisa “melihat” secara persis apa yang sesungguhnya terjadi. Banyak hal yang tersembunyi dibalik kehidupan fisik kita ini.

Untuk itu kita perlu membuka “Mata Ketiga”, supaya bisa memahami dengan lebih baik apa yang sesungguhnya sedang terjadi dibalik setiap peristiwa. Karena seperti sudah disinggung dimuka, kemampuan Mata kita sangat mempengaruhi Cara pandang kita. Bila terjadi gangguan, atau kerusakan pada mata, maka akan mempengaruhi cara pandang, keputusan, sikap dan tindakan kita atas suatu keadaan.

Upaya pembukaan “Mata Ketiga” ini mungkin lebih banyak ditemukan di dunia spiritual. Mengingat istilah “Mata Ketiga” ini banyak digunakan oleh para praktisi spiritual yang berkecimpung dengan masalah multidimensi kehidupan manusia.

Namun pada kenyataannya sebagai sebuah fakta, sesungguhnya setiap kita -entah sebagai praktisi spiritual maupun bukan- sudah sering menggunakan “Mata Ketiga”.  Karena apapun istilahnya, dari bahasa dan budaya manapun asalnya, “Mata Ketiga” ini selalu dikaitkan dengan fungsi kesadaran seseorang. Sedang pusat kesadaran manusia ada pada fikirannya. Jadi peran, fungsi dan kedudukan “Mata ketiga” ini tentu berkait erat dengan fikiran manusia. Dengan demikian kita semua sebenarnya sudah pernah  menggunakan “ Mata Ketiga” sejak kita mampu berfikir secara sadar.

Mungkin “ Mata Ketiga”  dipahami sebagai fungsi pikiran ini, masih merupakan awal untuk memahami adanya “alat pandang” dalam diri manusia yang tidak hanya berupa dua bola mata fisiknya. Dengan kata lain, dalam diri manusia ada “Alat Pandang” lain selain mata kepala. Salah satunya adalah Pikiran yang memiliki fungsi sebagai “ Alat Pandang” atau Indera Pengelihatan halus manusia. Sehingga sering disebut dengan “mata ketiga.” Dan ini merupakan salah satu bentuk fungsi “ MATA BATIN” manusia.

Seperti halnya mata fisik (selanjutnya kita sebut dengan mata kepala), yang memiliki keterbatasan dalam kemampuan pengelihatan, Mata Ketiga pun juga memiliki keterbatasan untuk memandang realita kehidupan tertentu. Dimana - mesiki sudah bersifat Batin dan mampu menembus batas ruang waktu secara fisik-, Mata ketiga, pada kondisi tertentu tidak mampu lagi menjangkau hal-hal yang lebih komplek, abstrak, halus, dan bersifat Immaterial seperti hal-hal yang berkaitan dengan masalah kerohanian atau ketuhanan.

Untuk realita bersifat Immaterial, Abstrak dan Tidak terbatas seperti masalah Ketuhanan dan Kerohanian ini, manusia membutuhkan “alat Pengelihatan” yang lebih canggih lagi. Dalam bahasa sehari-hari “alat Pengelihatan” Rohani ini sering kita kenal dengan istilah “ Mata Hati”. Dimana fungsi dan kemampuan dari Indera Mata Hati ini jauh lebih canggih dari Mata Ketiga.

Kalau Mata Kepala butuh cahaya dari luar yang menerangi obyek untuk bisa melihat. Mata ketiga pun juga butuh “cahaya” dari Luar untuk mampu memandang sebuah fakta dan realita. Cahaya bagi mata kepala mungkin bisa bersumber dari Matahari, bulan, lampu, obor dsb. Sedang Cahaya bagi Mata Ketiga bisa bersumber dari Ilmu Pengetahuan, data-data lapangan, dan beragam informasi dari luar dirinya yang ditangkap dengan Panca Indera. Baik dari Buku, TV, surat kabar, Internet, medsos, dsb.

Sedang Mata Hati, selain memiliki kemampuan “memandang” realita karena adanya cahaya dari Luar, dari dalam keadaannya sendiri mampu menghasilkan Cahaya sebagai sumber penerang, manakala cahaya dari luar tidak ditemukan. Oleh karenanya Mata hati sering disebut juga dengan Hati Nurani. Nur artinya cahaya, Aini  artinya mata. Atau Mata yang bercahaya.

Jadi seperti halnya sebuah HP, kita mampu membaca tulisan dalam layar HP, bukan semata-mata karena adanya cahaya dari Lampu, atau matahari yang ada di ruangan. Tapi dari HP nya sendiri, memancarkan cahaya sehingga kita mampu membaca tulisan di layarnya meskipun berada di ruang yang gelap.

Demikianlah, manusia dilengkapi Peralatan Pengelihatan bertingkat-tingkat untuk menangkap realita dalam kehidupannya yang bertingkat-tingkat pula dimensinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar