Oleh : Mas Tiyo
Ketika seekor Kambing berada didalam cengkraman seekor Macan,
nasibnya tak lebih hanyalah sebagai santapan penghilang rasa lapar sang Macan. Dengan
perubahan jaman, dan semakin majunya ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi,
tidak banyak perubahan yang terjadi dalam tradisi antar mereka.
Tidak ada ceritanya, sekumpulan Kambing mengadakan aksi unjuk rasa atas tindakan
anarkhis sang Macan, lalu menuntut
dibuatnya Undang-Undang Anti Kekerasan. Demikian pula sebaliknya, Sang macam
pun tidak banyak melakukan inovasi kuliner dalam gaya menyantap sang Kambing.
Selalu disantap dagingnya mentah-mentah, tanpa menyertakan lalapan walau
sekedar daun singkong atau bayam.
Dan tidak pernah terjadi pula sebaliknya, Kambing yang
memburu Macan dengan meninggalkan rumput sebagai makanan pokoknya guna
meningkatkan Martabat kebinatangannya. Diantara
mereka seolah sudah ada konsensus jangka panjang dalam tradisi memangsa dan
dimangsa. Demikian yang selalu terjadi, sejak jaman pra sejarah sampai
sekarang. Tidak pernah berubah, selalu konsisten dan komitmen dengan keadaan
masing-masing.
Beda bila mereka berdua ditangan manusia. Habis itu si
Kambing dari kulit, daging dan jeroan sampai tulang-tulangnya. Kulitnya dibikin
wayang, dan Kendang. Daging dan jeroannya jadi sate, gulai, tongseng atau
kebuli. Tulangnya dijadikan kaldu dan Sop kaki kambing. Belum puas dengan satu
kambing, diternaknya kambing untuk dijual pada hari raya Qurban. Uangnya
lumayan untuk ditabung persiapan naik haji, atau bayar sekolah anak-anaknya.
Sedang nasib si Macan, mungkin pada awalnya manusia takut
dimangsa Macan. Tapi dengan adanya panah, pedang, tombak dan Senapan, keadaan
berubah menjadi sebaliknya. Si Macan yang menjadi hewan buruan manusia. Untuk
di air keras kepalanya, dan kulitnya dijadikan karpet lalu dipajang ruang tamu,
sebagai pendongkrak prestise si pemilik rumah. Saking kuatnya nafsu berburu
manusia melebihi kemampuan si Macan beranak-pinak, menjadikan si Macan sebagai
hewan langka. Dan manusia pun kembali berubah untuk melindungi dan melestarikannya.
Sekilas dibandingkan hewan, manusia memiliki tingkat
ketamakan yang tinggi dalam memanfaatkan apa yang ada disekitarnya. Dengan
kemampuannya dalam berfikir, dan belajar, manusia mampu mendorong dan
mengembangkan hasratnya sedemikian rupa sehingga mampu merubah keadaan. Dari
dikuasai menjadi menguasai. Dari tidak mampu menjadi mampu. Dari tidak tahu
menjadi tahu.
Dan konsekwensi dari ketamakan hasratnya ini, menjadikan
segala hal yang dilakukan manusia, seolah tidak ada makhluk lain yang mampu
mengendalikan atau menguasainya. Gunung, sungai, laut, tumbuhan, hewan, semua
hanya diam mengikuti kehendak manusia dalam melampiaskan hasratnya berkuasa. Sampai
akhirnya manusia disadarkan oleh kenyataan, ketika banyak kerusakan yang
dihasilkan dari ketamakan perbuatannya.
Namun dibalik ketamakan hasrat manusia yang tidak terbatas
itu, kita bisa temukan kemampuan unik
manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Yaitu kemampuan dalam “Memberi
Nilai Tambah.”
Ditangan manusia, apapun yang ada bisa diberi nilai tambah.
Hal yang sederhana bisa menjadi komplek. Hal yang sepele bisa menjadi berarti.
Hal yang membosankan bisa menjadi menarik. Hal yang sia-sia bisa menjadi
berharga.
Dari masalah sliliten
(sisa makanan disela gigi) saja misalnya. Mungkin ini masalah yang kecil dan
sepele kelihatannya. Mungkin bagi Si Macan yang sliliten daging kambing, atau Kambing yang sliliten batang rumput, hal itu tidak menjadi sesuatu yang berarti.
Sehingga mereka cuek-cuek saja bila ketemu betinanya masih ada sisa makanan di
sela giginya. Namun ditangan Manusia, masalah sliliten ini bisa menjadi sesuatu yang besar, kompleks dan penting sekali.
Bisa-bisa gara-gara sliliten,
seorang wanita dibenci sepanjang pernikahannya oleh Sang Mertua yang dokter
gigi. Atau gara-gara sliliten,
seorang bos mengaduh kesakitan sepanjang hari ndak bisa kerja, karena sakit
gigi.
Dari kasus Sliliten ini manusia bisa menciptakan tusuk gigi.
Mungkin pada awalnya bisa aja ambil dari sebatang koreng api, atau sapu lidi.
Tapi berikutnya manusia bisa mencipta pabrik tusuk gigi. Yang tadinya hanya
sekedar alat penghilang sisa makanan untuk satu orang, dengan adanya pabrik tusuk gigi bisa menciptakan tusuk gigi
bagi banyak orang. Selain itu juga melahirkan lapangan kerja baru bagi banyak
orang. Dari proses pengadaan bahan, pengolahan, pemasaran, transportasi terjadi
kaitan dengan banyak pihak yang saling membutuhkan dan menghidupi. Berputarlah
roda ekonomi masyarakat disana gara-gara Sliliten
dan tusuk gigi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar