Selasa, 02 Agustus 2016

TAMAK dan NILAI TAMBAH



Oleh : Mas Tiyo

Ketika seekor Kambing berada didalam cengkraman seekor Macan, nasibnya tak lebih hanyalah sebagai  santapan penghilang rasa lapar sang Macan. Dengan perubahan jaman, dan semakin majunya ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi, tidak banyak perubahan yang terjadi dalam tradisi antar mereka.

Tidak ada ceritanya,  sekumpulan Kambing  mengadakan aksi unjuk rasa atas tindakan anarkhis sang Macan, lalu  menuntut dibuatnya Undang-Undang Anti Kekerasan. Demikian pula sebaliknya, Sang macam pun tidak banyak melakukan inovasi kuliner dalam gaya menyantap sang Kambing. Selalu disantap dagingnya mentah-mentah, tanpa menyertakan lalapan walau sekedar daun singkong atau bayam.

Dan tidak pernah terjadi pula sebaliknya, Kambing yang memburu Macan dengan meninggalkan rumput sebagai makanan pokoknya guna meningkatkan Martabat kebinatangannya.  Diantara mereka seolah sudah ada konsensus jangka panjang dalam tradisi memangsa dan dimangsa. Demikian yang selalu terjadi, sejak jaman pra sejarah sampai sekarang. Tidak pernah berubah, selalu konsisten dan komitmen dengan keadaan masing-masing.

Beda bila mereka berdua ditangan manusia. Habis itu si Kambing dari kulit, daging dan jeroan sampai tulang-tulangnya. Kulitnya dibikin wayang, dan Kendang. Daging dan jeroannya jadi sate, gulai, tongseng atau kebuli. Tulangnya dijadikan kaldu dan Sop kaki kambing. Belum puas dengan satu kambing, diternaknya kambing untuk dijual pada hari raya Qurban. Uangnya lumayan untuk ditabung persiapan naik haji, atau bayar sekolah anak-anaknya.

Sedang nasib si Macan, mungkin pada awalnya manusia takut dimangsa Macan. Tapi dengan adanya panah, pedang, tombak dan Senapan, keadaan berubah menjadi sebaliknya. Si Macan yang menjadi hewan buruan manusia. Untuk di air keras kepalanya, dan kulitnya dijadikan karpet lalu dipajang ruang tamu, sebagai pendongkrak prestise si pemilik rumah. Saking kuatnya nafsu berburu manusia melebihi kemampuan si Macan beranak-pinak, menjadikan si Macan sebagai hewan langka. Dan manusia pun kembali berubah untuk melindungi dan melestarikannya.

Sekilas dibandingkan hewan, manusia memiliki tingkat ketamakan yang tinggi dalam memanfaatkan apa yang ada disekitarnya. Dengan kemampuannya dalam berfikir, dan belajar, manusia mampu mendorong dan mengembangkan hasratnya sedemikian rupa sehingga mampu merubah keadaan. Dari dikuasai menjadi menguasai. Dari tidak mampu menjadi mampu. Dari tidak tahu menjadi tahu.

Dan konsekwensi dari ketamakan hasratnya ini, menjadikan segala hal yang dilakukan manusia, seolah tidak ada makhluk lain yang mampu mengendalikan atau menguasainya. Gunung, sungai, laut, tumbuhan, hewan, semua hanya diam mengikuti kehendak manusia dalam melampiaskan hasratnya berkuasa. Sampai akhirnya manusia disadarkan oleh kenyataan, ketika banyak kerusakan yang dihasilkan dari ketamakan perbuatannya.

Namun dibalik ketamakan hasrat manusia yang tidak terbatas itu,  kita bisa temukan kemampuan unik manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Yaitu kemampuan dalam “Memberi Nilai Tambah.”

Ditangan manusia, apapun yang ada bisa diberi nilai tambah. Hal yang sederhana bisa menjadi komplek. Hal yang sepele bisa menjadi berarti. Hal yang membosankan bisa menjadi menarik. Hal yang sia-sia bisa menjadi berharga.

Dari masalah sliliten (sisa makanan disela gigi) saja misalnya. Mungkin ini masalah yang kecil dan sepele kelihatannya. Mungkin bagi Si Macan yang sliliten daging kambing, atau Kambing yang sliliten batang rumput, hal itu tidak menjadi sesuatu yang berarti. Sehingga mereka cuek-cuek saja bila ketemu betinanya masih ada sisa makanan di sela giginya. Namun ditangan Manusia, masalah sliliten ini bisa menjadi sesuatu yang besar, kompleks dan penting sekali.

Bisa-bisa gara-gara sliliten, seorang wanita dibenci sepanjang pernikahannya oleh Sang Mertua yang dokter gigi. Atau gara-gara sliliten, seorang bos mengaduh kesakitan sepanjang hari ndak bisa kerja, karena sakit gigi.

Dari kasus Sliliten ini manusia bisa menciptakan tusuk gigi. Mungkin pada awalnya bisa aja ambil dari sebatang koreng api, atau sapu lidi. Tapi berikutnya manusia bisa mencipta pabrik tusuk gigi. Yang tadinya hanya sekedar alat penghilang sisa makanan untuk satu orang, dengan adanya  pabrik tusuk gigi bisa menciptakan tusuk gigi bagi banyak orang. Selain itu juga melahirkan lapangan kerja baru bagi banyak orang. Dari proses pengadaan bahan, pengolahan, pemasaran, transportasi terjadi kaitan dengan banyak pihak yang saling membutuhkan dan menghidupi. Berputarlah roda ekonomi masyarakat disana gara-gara Sliliten dan tusuk gigi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar